Sabtu, 27 Desember 2008

1. Genesis

“Jangan keluyuran,” pesan itu selalu Sony ulang setiap hari. Dasar bengal. Sudah dinasehati berkali-kali, pikirannya masih saja suka berkelana ke mana-mana. Meloncat dari satu kejadian ke peristiwa yang lain. Melayang dari satu memori ke kenangan berikutnya. Menyelinap dari satu masa menuju ke kala yang jauh. Meliuk dari satu soal ke perihal yang satunya. Berkelok dari satu topik ke bahasan yang berbeda. Pelesiran melulu. Capek dia, meski kadang-kadang mengasyikkan juga.
Pria paruh baya itu akhirnya menyerah. Karena sudah bosan memberi nasehat, dia biarkan saja pikirannya itu keluyuran kesana-kemari. “Silahkan jalan-jalan. Sampai gempor,” gerutunya.
Nama lengkapnya Adi Suharsono. Keluarga dan kawan-kawan memanggilnya Sony. Istrinya, Febriana Silangturi, seorang wanita karir yang berhasil, bekerja di sebuah perusahaan furnitur besar sebagai pemasar. Anak pertamanya, Rizky Putra, duduk di bangku SMP, baru kelas satu. Sedangkan anaknya yang kedua, Salsabila Putri, masih kelas tiga SD.
Sony senantiasa merasa sangat beruntung memiliki keluarga bahagia. Sehari-harinya pria berkacamata itu seorang pengusaha. Bukan pengusaha besar, memang. Tapi, kalau dibilang gurem, tidak juga. Omzetnya lumayan. Setelah lebih dari sepuluh tahun berwiraswasta, Sony mampu memberikan lapangan kerja bagi dua puluh tiga orang di kantornya, di daerah Kebayoran. Sebagian besar karyawannya masih muda-muda.
Siang itu Sony lagi sebel. Masih terbayang jelas dalam ingatannya bagaimana dia dipermalukan oleh seekor makhluk bau yang tak berakal. Hari Minggu kemarin dia membawa keluarganya piknik ke Kebon Binatang. Tak dinyana, seekor orangutan lepas dari kandangnya. Pengunjung berlarian, tunggang langgang. Febriana dan Rizky sempat bangkit dari duduk mereka mendengar keributan itu. Sony cuma melongok ke arah orang-orang yang pada berhamburan, sekedar ingin tahu. Tapi, tiba-tiba dia mendengar anak perempuannya yang sedang bermain busa tiup di bawah pohon menjerit-jerit. Hewan yang panik itu berlari ke arah putrinya. Secara refleks Sony langsung bangkit dan berlari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan Salsa. Namun, sebelum tangannya sempat menjangkau gadis kecil itu, binatang yang gemar memonyong-monyongkan bibirnya tersebut malah menabraknya. Memeluknya erat-erat.
Sony jatuh terguling-guling di rerumputan, dengan seekor orangutan gagu menempel lekat di dadanya. Dua orang petugas kebon binatang bergegas menghampiri dan kemudian membantunya berdiri.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya salah seorang dari mereka, dengan napas yang masih terengah-engah. Keringat bercucuran deras membasahi baju mereka, terutama di bagian ketiak. Sony tak sempat menjawab. Dia sedang sibuk melepaskan diri dari pelukan hewan yang tingkah polanya terkadang mirip manusia itu.
“Pak, Pak, jangan melawan. Nanti dia tambah ketakutan dan tak mau lepas,” seru Syamsul. Namanya terukir rapi di atas saku bajunya. Syamsul Rifa’i. Sedangkan temannya, dari logat bicaranya ketahuan kalau orang Madura, bernama Kaderi. Mereka mencoba menenangkan Sony, dan juga Agnes, orangutan betina itu.
Namun, anehnya, dibujuk dengan apapun, Agnes tak kunjung melepaskan belitan tangannya. Diiming-imingi pisang ambon tak mempan. Dipancing dengan sebungkus besar kacang garing Cap Dua Kelinci juga tak bereaksi. Dibujuk dengan dua kon es krim diam saja. Dilambai-lambaikan tiga lembar uang seratus ribuan tepat di depan matanya dia malah melengos. Sebatang rokok Djie Sam Soe yang diulurkan Kaderi sama sekali tak disentuhnya. Dibawakan tahu goreng kesukaannya juga tak ditengoknya.
Pelukannya semakin erat. Bahkan dia berusaha mencium pipi kiri Sony. Orang-orang yang berkerumun pada ketawa melihatnya. Sony jadi blingsatan. Tengsin berat menjadi tontonan gratis para pengunjung kebon binatang itu. Berbagai cara sudah mereka lakukan, tapi Agnes tetap saja tak mau melepaskan rangkulannya. Syamsul dan Kaderi mulai kelihatan putus asa. Akhirnya mereka menyerah. Duduk-duduk saja, sambil garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba Syamsul bangkit dan beranjak mendekati Agnes. Dia elus-elus kepala gadis berbulu itu sambil membisikkan sesuatu. Ajaib. Agnes langsung manggut-manggut dan kemudian melepaskan rengkuhannya dari badan Sony. Kaderi segera membawanya pergi. Menuntunnya. Seperti menuntun anak sendiri. Semua orang bertepuk tangan. Riuh sekali. Malah ada yang usil berseloroh, “Pacaran ni, ye ….”
Sony merasa sangat lega. Bebas sudah. Sambil mengibas-ngibaskan bajunya, dia menghampiri pria berkumis tipis itu, yang tampak mulai bisa tersenyum. “Memangnya, tadi kamu ngomong apa sama monyet buluk itu?”
Syamsul menatap kedua mata Sony agak dalam. Sepertinya dia ragu-ragu. Tapi akhirnya dia menjawab, “Saya kasih tahu Agnes agar balik ke kandangnya dulu untuk bersiap-siap, karena Bapak mau melamarnya hari ini.”
Sialan.
“Inilah akibatnya kalau dokter hewan suka iseng meminjamkan buku teori evolusi kepada orangutan. Sepertinya mereka telah mempelajari teori itu, dan kini menagih janji. Ingin menikah dengan manusia,” ujar Syamsul dengan mimik serius. Kayaknya dia tidak sedang bercanda. Di wajahnya yang agak katrok itu tak sedikitpun tersirat kesan bahwa dia ingin membanyol.
“Memang benar, begitu?” sergah Sony setengah tak percaya.
“Betul Pak. Kurang lebih delapan bulan lalu Pak Jatmiko pulang dari Amerika membawa buku bahasa Inggris, judulnya original apa gitu …,” pemuda santun tersebut mencoba mengingat-ingat.
“The Origin of Species,” sahut Sony.
“Betul Pak, kayaknya begitu. Diberikan kepada Bu Susan, ibunya Agnes.”
Nama lengkapnya Agnes Monica, baru berusia dua tahun. Sedangkan Susan Bachtiar, ibunya, berumur delapan tahun. Hubungan ibu dan anak tersebut sangat dekat. Mereka saling menyayangi. Dan sepertinya mereka berdua sangat akrab dengan Kaderi, pengasuhnya. Adalah pemuda Madura itu yang memberikan nama-nama tersebut kepada mereka berdua.
Harapannya tidak muluk-muluk. Apabila suatu saat nanti kedua perempuan berbulu tersebut benar-benar menjelma menjadi manusia, dia ingin wujud mereka sama persis seperti nama yang disandang masing-masing. Bila itu benar terjadi, Kaderi dengan senang hati akan menikahi salah satu dari mereka. Tak peduli anaknya atau ibunya. Sama saja. Toh, mereka masih muda-muda.
Begitulah ceritanya. Sony bertanya-tanya. Benarkah suatu saat nanti Agnes dan Susan akan berubah menjadi manusia?
Karena penasaran, malam harinya Sony pergi ke toko buku di Blok M untuk membeli buku karangan Charles Darwin itu. Secara sekilas dia paham teori evolusi, manusia berasal dari monyet, begitu garis besarnya. Tapi dia belum pernah membaca buku tersebut. Hanya dengar-dengar saja.
Kini buku yang membuat kepalanya makin puyeng itu sudah hampir selesai dibacanya. Di dalamnya, Darwin memaparkan bahwa semua makhluk hidup yang ada di muka bumi, termasuk yang hidup di dalam air, berasal dari satu bentuk kehidupan tunggal yang kemudian berevolusi menjadi spesies-spesies berbeda yang masih hidup hingga sekarang maupun yang sudah punah. Proses evolusi itu telah berlangsung selama berjuta-juta tahun, katanya.
Melakukan pengamatan di Kepulauan Galapagos yang terpisah dari Benua Amerika (Selatan) pada zaman ketika es di kutub meleleh karena perubahan iklim yang ekstrem akibat terjadinya global warming, naturalis berkebangsaan Inggris ini menemukan bahwa hewan-hewan yang hidup terisolasi di sana telah berevolusi menjadi spesies-spesies yang berbeda dari moyangnya yang tinggal di daratan utama. Dia menduga bahwa telah terjadi persaingan sengit di antara spesies-spesies itu untuk bertahan hidup di tempat yang telah dipagari oleh lautan tersebut. Survival of the fittest. Memperbaiki cara hidup maupun bentuk fisik agar tetap bertahan hidup. Yang kuat merajai. Yang lemah harus minggir. Atau, mati.
Berangkat dari temuan ini, pria berjenggot lebat itu kemudian dengan penuh semangat mencoba merekonstruksi asal-usul manusia. Sampailah akhirnya dia pada suatu kesimpulan yang sangat sembrono dan ngawur bahwa manusia pada awalnya adalah primata, yang kemudian berevolusi menjadi manusia-primata (manusia primitif, bentukan kata sifat dari kata benda primata), dan selanjutnya berevolusi lebih jauh lagi menjadi manusia modern seperti yang ada sekarang.
Teori Darwin sungguh konyol, pikir Sony, karena jelas-jelas dia mengalami hari buruk siang kemarin dengan manusia yang masih setengah jadi. Darwin benar-benar ngigau ketika mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Seingat dia, Al-Qur’an menyebutkan bahwa penghuni bumi diciptakan dalam bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Monyet ya monyet. Manusia ya manusia. Begitu saja.
Tapi, kalau sapi, memang benar memiliki pertalian darah dengan manusia. Sapi dan manusia masih saudara sesusuan. Karena menyusu dari ibu yang sama, sapi betina. Ini semua karena banyak kaum ibu yang ogah memberikan ASI kepada bayinya. Kalaupun mau menyusui sendiri, sering kali si orok harus berbagi dengan sang ayah. Yang beginian kadang-kadang gampang membuatnya muntah, karena ASI mamanya tercemar nikotin.
Maka, tak ada pilihan lain. Sapi menjadi pahlawan. Penyantap rerumputan itu mampu menghasilkan minuman bergizi tinggi kapan saja. Apalagi kalau dipaksa makan banyak daun katuk, pasti susunya melimpah ruah dan harganya akan murah. Sehingga semua anak Indonesia dapat minum segelas susu di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
Teori evolusi tentu saja tidak dilatarbelakangi oleh kebiasaan Darwin minum susu sapi murni-segar di pagi hari. Dia hanya mencoba menebak-nebak sambil mencocok-cocokkan kepingan-kepingan bukti sumir mengenai keberadaan makhluk prasejarah, yang kemudian dirunutnya hingga mengarah pada manusia. Seperti sedang asyik bermain puzzle, yang dia ciptakan berdasarkan imajinasinya sendiri.
Tapi Sony tidak mendapatkan sedikit pun informasi di buku itu apakah Darwin punya kenangan manis dengan kera semasa kecilnya. Yang pernah dia dengar, Darwin sempat ragu-ragu ketika akan merilis teori tersebut. Takut kalau-kalau akan dimarahi ibunya.
Memang, secara fisik bentuk manusia dan hewan mengikuti grand design yang serupa. Ada kepala, badan, kaki, tangan dan lain sebagainya. Juga mata, mulut, hidung dan telinga. Bahkan organ-organ dalamnya pun hampir sama, bentuk maupun fungsinya. Namun, karena manusia berjalan tegak dengan kakinya, tumitnya menyentuh tanah. Telapak kakinya memanjang, sehingga keseimbangannya terjaga dengan baik. Sedangkan hewan, yang berjalan dengan menggunakan kaki dan tangannya – bahkan binatang yang berjalan setengah tegak sekalipun, kadang dengan kaki dan tangannya, kadang dengan kakinya saja, seperti beruang – tumitnya terangkat dan tidak menyentuh tanah. Telapak kakinya sangat kecil, sehingga tak tahan berdiri berlama-lama hanya dengan bertumpu pada kaki. Bahkan, sebagian hewan tak punya telapak kaki, hanya kuku-kuku besar dan tebal yang menginjak tanah.
Kaki hewan berjinjit, sehingga lututnya terlihat seperti menekuk ke depan. Padahal tidak. Lutut hewan, sama seperti halnya lutut manusia, juga menekuk ke belakang. Ruas-ruas tulangnya juga sama seperti yang terdapat pada manusia. Demikian pula persendian-persendian yang memungkinkan kaki-kaki itu menekuk. Mirip semua. Hanya saja, paha hewan terlipat dan tersembunyi di bagian belakang (bawah) badannya sehingga seolah-olah lututnya, yang sebenarnya tumit, menekuk ke depan.
Tumit dikira lutut. Betis dikira paha. Kekeliruan inilah yang sering membuat bingung penjual fried chicken, dengan menawarkan paha atas (paha) dan paha bawah (betis) yang bentuknya seperti pentungan itu kepada para pelanggannya.
Primata memang memiliki banyak kemiripan fisik dengan manusia. Bahkan beberapa jenis primata tak punya ekor di bokongnya, seperti Agnes, yang juga mengalami siklus menstruasi seperti gadis-gadis manusia. Malahan, pada primata jantan seperti gorila, misalnya, terdapat sepasang pentil susu seperti halnya pada manusia berjenis kelamin pria, meski tak ada air mancur di sana. Sebaliknya, banyak mamalia betina mempunyai puting susu lebih dari dua.
Dengan adanya begitu banyak kemiripan itu, Sony jadi bertanya-tanya, dan mencoba menerka-nerka, apakah ada hewan yang gay atau lesbian? Kayaknya tidak ada. Buktinya, tidak ada dokter hewan yang mengambil studi lanjutan dengan spesialisasi psikiatri kehewanan, majoring asmara binatang. Kalau ada, siapa profesornya? Onta, kali.
Manusia, sejak pertama kali dihadirkan ke dunia, sosoknya sudah seperti sekarang ini. Tak pernah berubah. Karena manusia diciptakan segambar dengan Tuhan, demikian Injil, kitab suci umat Nasrani itu, menyatakan. Begitu pula hewan, dari mula bentuknya tidak berbeda seperti yang ada hari ini. Ada yang menyeramkan. Ada yang lucu. Ada yang menggemaskan. Ada yang berwarna-warni. Ada yang lehernya panjang. Ada yang berbelalai. Ada yang hidup di darat. Ada yang hidup di air. Dan ada pula yang dapat hidup di air dan di darat sekaligus.
Lagian, kalau memang semua makhluk hidup berevolusi dari satu bentuk kehidupan tunggal menjadi spesies-spesies yang berbeda – persis seperti yang digambarkan dalam filem kocak Evolution yang dibintangi David Dukovny – apakah tumbuhan juga termasuk di dalamnya? Apakah tumbuhan merupakan salah satu kerabat jauh manusia?
Semua agama Samawi secara tegas menolak teori Darwin. Pihak gereja langsung mencak-mencak ketika itu. Sewot dan uring-uringan. Sangat geram. Luar biasa berang. Mereka segera merapatkan barisan. Tak rela dan benar-benar tersinggung dibilang berkerabat dengan monyet. Apalagi kalau harus dijajarkan bersama. Mereka jengkel sekali. Pokoknya, mangkel banget. Tapi lama-kelamaan tidak terdengar lagi perlawanan yang sengit. Adem-ayem saja.
Belakangan, Harun Yahya, yang getol menafsikan Al-Qur’an dengan pendekatan sains, mencoba mematahkan teori evolusi Darwin dengan paparan-paparan logikanya yang memukau. Dia menunjukkan bahwa ada banyak kekacauan di dalam teori evolusi yang dibangga-banggakan oleh Charles Darwin itu. Namun, upaya-upaya tersebut masih dilakukan secara parsial. Belum ada yang tergerak untuk membangun sebuah teori tandingan yang komprehensif. Sehingga Pak Jenggot tetap menang. Survival of the fittest. Yang paling blo’on pasti menang.
Berkenaan dengan urutan penciptaan semua makhluk hidup yang menghuni bumi, Sony mencoba mencari bandingan dengan membuka-buka Perjanjian Lama. Di sana dinyatakan bahwa bumi telah dipersiapkan dengan matang dan seksama sebelum manusia dihadirkan. Pertama-tama diciptakan tumbuh-tumbuhan, baik yang berkembang biak dengan tunas maupun biji. Kemudian ikan-ikan besar yang berkeriapan di lautan. Selanjutnya berbagai jenis burung yang beterbangan di langit dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Terakhir, binatang ternak dan hewan-hewan yang hidup di darat, termasuk binatang melata. Setelah itu barulah diturunkan manusia pertama ke bumi, yang diriwayatkan sosoknya setinggi dua puluh tujuh meter. Orang raksasa, kata Kitab Kejadian.
Jadi, ketika Nabi Adam ketemu dinosaurus, itu sama sekali bukan ancaman, tapi sumber makanan. Dinosaurus hanyalah sebutan untuk hewan yang berukuran besar, sama halnya seperti Thesaurus yang berarti kamus besar. Habil, anak Nabi Adam, beternak domba raksasa. Kalau diperbandingkan dengan ukuran penggembalanya, binatang ternak itu tingginya sekitar sepuluh meter atau lebih. Itulah yang disebut dinosaurus.
Berapa sih, ukuran dinosaurus? Bandingkan dengan sosok Nabi Adam yang setinggi dua puluh tujuh meter. Ketika tiba-tiba muncul seekor T-Rex di hadapannya, tak ubahnya seperti Benu Buloe si jurumakan ketemu kucing garong saat ini. Ngapain takut? Ditendang saja. Pasti ngeong-ngeong.
Namun, banyak juga satwa yang ukurannya lebih besar dari Nabi Adam, bahkan jauh lebih besar lagi. Tak ubahnya seperti di dunia sekarang. Syukurlah, binatang-binatang yang berukuran besar itu kebanyakan pemakan tumbuhan, alias vegetarian. Memang, ada juga hewan-hewan besar yang doyan makan daging sehingga bisa menjadi ancaman potensial bagi manusia yang jumlahnya masih sangat sedikit kala itu. Tapi, sebagai makhluk yang ditakdirkan menjadi penguasa bumi, anak cucu Nabi Adam sudah dibekali dengan akal dan pikiran. Mereka berlindung di dalam gua atau mendirikan kemah. Juga mengacungkan tombak dan melemparkan batu untuk menghalau hewan buas. Maka, selamatlah mereka.
Karena semakin penasaran, secara iseng Sony mencoba meletakkan dua premis yang saling bertolak punggung tersebut di atas sebidang nampan. Sekalian, pikirnya, sudah terlanjur bingung. Berpegang pada asumsi Darwin dengan teori evolusinya yang kacau-balau itu pada satu sisi, dan merujuk kepada berbagai riwayat yang disebutkan di dalam kitab-kitab suci yang telah diturunkan bagi umat manusia pada sisi lainnya, dia mendapatkan gambaran bahwa Nabi Adam harus memotong sedikitnya lima puluh ekor kambing (ukuran sekarang) untuk menyiapkan makan malam bagi seluruh anggota keluarganya. Seperti keluarga Pak Busyairi yang sedang menyantap lima puluh ekor marmut panggang dalam sebuah jamuan makan keluarga. Sungguh merepotkan.
Memang, perbanding tersebut tidak apple to apple. Karena keduanya berangkat dari titik tolak yang sama sekali berbeda. Namun keisengan tersebut justru membuat kepala Sony semakin dipenuhi tanda tanya. Kok, begini jadinya. Padahal, pengajaran di sekolah-sekolah dikuasai oleh teori evolusi hasil rekaan Darwin itu. Gawat ini, kalau sedari kecil anak-anak dicekoki dengan pengetahuan yang keliru, menurutnya. Daripada tambah bingung, dan karena takut kuwalat, Sony memutuskan teori evolusi Darwin tak perlu digubris. Karena logika dasarnya jelas salah. Darwin sendiri juga bingung dengan teori yang diciptakannya itu. Kacau, berputar-putar, dan mengada-ada. Mbulet, koyok ususe wedus. Saking bingungnya, akhirnya Darwin memunculkan istilah the missing links untuk menjustifikasi banyak hal yang tidak bisa dia jelaskan.
Memang benar ada proses evolusi, tapi hanya menyangkut ukuran dan bentangan usia makhluk hidup, dan sama sekali tidak berkenaan dengan perubahan bentuk fisik. Nabi Ibrahim yang datang kemudian tingginya diperkirakan tinggal dua belas sampai lima belas meter saja, dan umurnya tidak lagi sepanjang usia Nabi Adam yang mencapai sembilan ratus tiga puluh enam tahun. Ini terbukti dari besaran rumah ibadah yang beliau bangun, yaitu Ka’bah, dan juga maqom (jejak kaki) yang tercetak pada batu.
Terjadi proses down-sizing. Ukurannya semakin mengecil. Demikian pula dalam soal usia. Nabi Ibrahim meninggal pada umur seratus tujuh puluh lima tahun. Proses evolusi yang sama mestinya juga terjadi pada dinosaurus, hewan-hewan raksasa itu. Kalau tidak sama-sama mengecil dan berkurang umurnya dalam perbandingan yang sama dengan yang dialami oleh manusia, gawat jadinya. Manusia akan habis dimangsa binatang-binatang besar yang mampu beranak-pinak dalam jangka waktu lama, sehingga bumi akan benar-benar menjelma menjadi Animal Kingdom.
Jadi, sekali lagi, demikian yang dipahami Sony, yang dimaksud dengan evolusi sama sekali bukalah proses panjang berubahnya suatu bentuk kehidupan tunggal menjadi bentuk-bentuk kehidupan lain yang berbeda secara ekstrem, seperti berubahnya monyet menjadi manusia, sebagaimana yang diyakini Charles Darwin. Melainkan, mengecilnya ukuran dan memendeknya usia semua makhluk hidup – baik manusia, hewan maupun tumbuhan – secara terus-menerus dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Bahwa Darwin mendapati hewan-hewan yang terisolasi di Kepulauan Galapagos berbeda dengan moyangnya yang hidup di daratan utama, sama sekali bukanlah hal aneh. Para breeders ikan hias setiap saat menciptakan strain baru untuk menggeliatkan pasar agar dagangan mereka laris dan pendapatan melonjak. Louhan, contohnya, yang pernah membuat Sony tergila-gila itu.
Di samping itu, pasti ada alasan mengapa ukuran dan umur makhluk hidup mengalami penyusutan. Bertambahnya jumlah manusia membutuhkan ruang yang lebih luas pula untuk hidup, termasuk persaingan dalam mencari pangan, sekalipun manusia awal sudah mengenal cara bercocok tanam. Qabil, anak sulung Nabi Adam, misalnya, hidup dari bertani. Banyangan bila ukuran makhluk hidup tidak mengalami proses down-sizing. Dengan jumlah penduduk sebanyak 6,7 milyar jiwa saat ini, bumi akan penuh sesak dihuni oleh manusia-manusia raksasa. Setiap kali seseorang melangkah, tanah akan berguncang. Belum lagi dinosaurus yang membutuhkan tempat bermainnya sendiri, dan juga pepohonan yang besar-besar itu. Apalagi kalau umur manusia juga tidak mengalami pengurangan secara signifikan, sehingga dapat beranak-pinak dalam jangka waktu yang lebih lama. Jumlahnya pasti akan meledak menjadi ratusan milyar jiwa. Keringat akan terus bercucuran dari badan, karena setiap hari harus hidup berdesak-desakan.
Sony juga mendapati inkonsistensi teori evolusi yang disajikan secara telanjang dalam filem-filem Hollywood maupun fiksi-ilmiah dokumenter produksi Barat yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Darwin. Mereka selalu menggambarkan dinosaurus-dinosaurus ukuran purba sedang makan dedaunan dari pepohonan ukuran masa kini. Kasihan sekali dinosaurus-dinosaurus itu, karena harus bersusah payah mengumpulkan banyak sekali daun-daun ukuran unyil untuk dikunyah di mulutnya yang begitu besar. Pasti mereka membutuhkan banyak tusuk gigi setelah makan.
Sony yakin, ini bukanlah kealpaan dalam proses montase dan animasi. Mind set mereka memang sudah begitu. Kalau memang benar demikian adanya, lantas di manakah Nabi Adam yang setinggi pohon kelapa (masa kini) itu berteduh? Di bawah semak-semak dan perdu? Ukuran tumbuhan tentu saja ikut berevolusi. Bisa jadi daun bayam dulunya sebesar daun jendela. Tanya saja sama Popeye si Pelaut.
Langsung terbersit dalam pikiran Sony untuk mencoba membandingkan sosok Nabi Adam dengan manusia modern yang rata-rata tingginya, katakanlah, 1,7 meter. Ketemu. Angka-angka yang muncul di kalkulatornya mengatakan bahwa ukuran manusia telah menyusut drastis hingga tinggal 6,3 persen dari asalnya. Terjadi penurunan ukuran yang luar biasa. Atau, untuk membuat perbandingan yang lebih mudah, sosok Nabi Adam sekitar enam belas kali lipat dari ukuran manusia sekarang, kata kalkulator bermerek Canon itu. Demikian pula soal umur. Dibandingkan dengan Nabi Adam yang hidup hampir seribu tahun, manusia zaman sekarang berapa sih rata-rata umurnya? Kalau berpatokan pada Nabi Muhammad yang tutup usia pada umur enam puluh tiga tahun, berarti telah terjadi diskon besar-besaran pada umur manusia.
Kenapa manusia awal diciptakan dengan ukuran sebesar itu? Di samping untuk mengimbangi ukuran hewan-hewan raksasa yang sudah terlebih dulu merajai bumi, postur yang besar akan mempermudah dan mempercepat proses penyebaran manusia yang akhirnya berkembang menjadi bangsa-bangsa. Dengan perbandingan ukuran manusia masa kini, nenek moyang manusia cukup mengayunkan satu langkah untuk menempuh jarak lebih dari sepuluh meter. Maka, jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat. Begitu pula ketika harus menyeberangi sungai-sungai yang dalam, pasti tak akan tenggelam. Seandainya mereka diundang mengikuti acara gerak jalan susu Anlene yang diketuai Indy Barens itu, yang mengajak orang mengayunkan kaki sebanyak sepuluh ribu langkah per hari, berarti mereka berjalan sejauh seratus kilometer.
Berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang diciptakan lebih awal dan kemudian mendiami seluruh permukaan bumi, manusia pertama diturunkan di satu tempat. Nabi Adam diturunkan di India, kata sebagian orang. Sedangkan Siti Hawa diturunkan di Jazirah Arab, kata yang lainnya. Mereka akhirnya bertemu di suatu tempat.
Lantas beranak-pinak dan melanjutkan hidup.
Penyebaran manusia ke berbagai belahan dunia berlangsung dalam tiga tahapan besar. Tahap pertama adalah menyebarnya anak cucu Nabi Adam ke kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, dan mungkin lebih jauh lagi. Namun penyebaran ini harus berakhir pada zaman Nabi Nuh. Seluruh manusia di kolong langit dibinasakan oleh azab air bah karena telah berpaling dari Tuhan, kecuali Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya yang keseluruhannya berjumlah empat puluh orang – ada yang bilang sepuluh orang, dan sebagian lagi mengatakan delapan puluh orang – yang selamat karena berada di dalam bahtera raksasa yang dibangun dengan petunjuk dan tuntunan langsung dari Allah.
Masa kehidupan Nabi Nuh, yang meninggal dalam usia seribu lima puluh tahun itu, hanya berselisih beberapa generasi dari Nabi Adam. Sony menemukan ada banyak versi mengenai usia Nabi Nuh, tapi hampir semuanya menyebutkan angka di atas seribu tahun. Namun, meski berbeda generasi, Nabi Nuh dilahirkan tiga ratus delapan tahun sebelum Nabi Adam wafat. Memang, umur manusia sangat panjang pada masa itu, dan juga mampu beranak-pinak dalam jangka waktu yang lama, sehingga anaknya banyak. Rentang usia keduanya juga tak jauh berbeda. Belum terjadi proses evolusi. Berarti, tinggi badan Nabi Nuh masih sekitar dua puluh tujuh meteran. Dengan demikian, bisa dibayangkan seberapa masif ukuran bahtera yang dibangun oleh Nabi Nuh itu.
Bahtera yang dibuat dari bahan kayu gofir tersebut sangat kokoh dan ukurannya luar biasa besar – jauh lebih besar dari kapal induk kelas Nimitz yang dibangga-banggakan oleh Amerika Serikat itu – karena harus mampu memuat perbekalan untuk jangka waktu setengah tahun, baik pangan manusia maupun makanan untuk semua satwa yang ada di dalamnya. Belum lagi muatan utamanya. Empat puluh manusia raksasa. Sementara setiap jenis hewan, termasuk satwa melata dan burung-burung, masing-masing dibawa sepasang. Sedangkan untuk binatang yang tidak haram dimakan, dalam hal ini yang dimaksud adalah hewan ternak, diperintahkan agar masing-masing jenis dibawa tujuh pasang. Diangkut pula benih dan bibit tumbuhan dari semua jenisnya.
Bahtera yang dibangun Nabi Nuh panjangnya tiga ratus hasta (300 x 16 x 45 cm = 216.000 cm = 2.160 m), lebar lima puluh hasta (50 x 16 x 45 cm = 36.000 cm = 360 m), dan tingginya tiga puluh hasta (30 x 16 x 45 cm = 21.600 cm = 216 m). Hasta adalah satuan ukuran sepanjang rentangan tangan, empat puluh lima sentimeter, bagi manusia masa kini. Karena Nabi Nuh tingginya dua puluh tujuh meter, atau enam belas kali lipat dari ukuran manusia sekarang, maka ukuran hasta (rentangan tangan) bagi para manusia raksasa itu adalah 16 x 45 cm = 720 cm = 7,2 m.
Dibangun tiga tingkatan di bagian dalam kapal, dengan kompartemen-kompartemen yang sangat luas sehingga manusia dan hewan tidak perlu berdesak-desakan. Mereka tetap mendapatkan privasi masing-masing di dalam bahtera raksasa tersebut.
Hebatnya, bahtera yang dibangun bukan di galangan kapal sebagaimana yang biasa dijumpai sekarang dan bahkan sama sekali belum pernah diuji coba itu langsung mengapung dengan stabil di tengah gelontoran hebat air bah, terjangan angin topan yang menderu-deru, dan guyuran hujan lebat yang tak pernah berhenti selama empat puluh hari penuh. Kapal raksasa tersebut terangkat setinggi lima belas hasta (15 x 16 x 45 cm = 10.800 cm = 108 m) dari tempatnya semula. Tidak ada kebocoran sama sekali. Bahtera raksasa itu terombang-ambing selama seratus lima puluh hari hingga air surut dan akhirnya kandas di sebuah bukit.
Sony menduga bahwa perintah untuk menyelamatkan semua jenis satwa secara berpasang-pasangan, hewan ternak masing-masing tujuh pasang, dan juga bibit tanaman, ditujukan agar setelah air bah surut Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya bisa segera memulai kembali kehidupan yang normal seperti sedia kala di lingkungan yang sama sekali baru.
Maka, setelah air benar-benar menyusut, turunlah mereka dari bahtera raksasa itu. Manusia dan satwa berbaris rapi menapaki pintu lambung kapal yang diturunkan menjadi tangga. Hewan-hewan itu segera menyebar ke tempat-tempat di mana mereka bisa memulai kehidupan liar yang baru dan kemudian beranak-pinak kembali.
Sony pernah mendengar sebuah versi yang agak ugal-ugalan mengenai keberadaan para satwa di dalam bahtera raksasa itu. Karena khawatir ada hewan yang tak mampu menahan diri untuk kawin dan kemudian beranak di dalam kapal, sehingga akan menambah beban muatan, maka diambillah sebuah langka antisipatif. Semua alat kelamin hewan jantan disita untuk sementara dan kemudian disimpan di dalam gudang yang pintunya dikunci dengan gembok besar.
Setelah air mulai surut, para pejantan itu sudah tak sabar lagi untuk mengambil alat kelaminnya kembali. Kuda, yang larinya paling kencang, adalah yang pertama sampai di depan gudang. Pintu langsung dia dobrak, dan diambilnya penis yang paling besar. Tak tahu kepunyaan siapa. Pokoknya dipilihnya yang paling gede. Makanya, setiap kali seekor sapi ketemu kuda, pasti dia akan langsung geleng-geleng kepala. Keheranan dan tak habis pikir dengan kenakalan kawannya itu. Namun, sungguh malang nasib itik. Penisnya terinjak gajah sebelum sempat diraihnya, sehingga sampai sekarang alat kelamin itik jantan bentuknya gepeng.
Setelah turun dari bahtera raksasa, manusia tinggal untuk beberapa lama di sana, dan kemudian mulai menyebar ke tempat-tempat yang lebih jauh begitu jumlahnya mulai banyak. Maka dimulailah penyebaran manusia untuk kedua kalinya. Kali ini cukup jauh jangkauannya, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi sudah mencapai sebagian Eropa, Afrika dan beberapa bagian Asia lainnya. Karena sudah mengenal cara membuat kapal, penyebaran itu juga dilakukan dengan melintasi lautan. Namun, mereka tidak perlu lagi membuat kapal yang berukuran raksasa. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan penyebaran manusia pada tahap kedua ini sudah merembes ke seluruh bagian bumi. Sedangkan penyebaran manusia pada tahap ketiga, yang merangsek hingga ke seluruh penjuru dunia, terjadi setelah zaman Nabi Ibrahim. Bapak para nabi dan rasul itu ditakdirkan mempunyai keturunan yang kemudian berkembang menjadi bangsa-bangsa sebanyak bintang-bintang di langit.
Sebagian orang malah percaya bahwa manusia sama sekali tidak melakukan penyebaran ke seluruh bagian dunia. Sebaliknya, mereka hanya kembali ke tempat asal masing-masing. Alasannya sederhana saja. Diriwayatkan bahwa manusia diciptakan dari segumpal tanah yang diambil sejumput-sejumput dari semua belahan bumi. Jadi, ketika sekelompok manusia awal sampai di Benua Eropa dan kemudian menetap serta beranak-pinak di sana, sebenarnya mereka telah kembali ke daerah asal di mana pernah diambil sejumput tanah yang kemudian dipakai sebagai bahan baku untuk menciptakan manusia. Demikian pula kelompok-kelompok manusia yang sampai di Benua Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Sesungguhnya mereka kembali ke daerah asal masing-masing. Dari mana jumputan tanah itu berasal juga menentukan warna kulit mereka.
Banyak orang percaya bencana air bah pada era Nabi Nuh adalah zaman ketika es di kutub mencair akibat pemanasan global. Pada waktu air surut, bumi tak lagi kembali seperti semula. Sebagian dataran yang tidak terlalu tinggi hilang ditelan air, berubah menjadi sungai, danau, selat dan lautan. Kejadian inilah yang memisahkan daratan besar menjadi lima benua, dengan ribuan gugusan kepulauan, serta ratusan ribu pulau besar dan kecil lainnya yang menghampar dan berserak indah bagaikan lukisan alam. Peristiwa ini pula yang memisahkan Kepulauan Galapagos – di mana Charles Darwin pernah asyik berkongkow-kongkow bersama sejumlah kera – dari daratan induknya.
Azab air bah diturunkan untuk memusnahkan seluruh manusia – yang jumlahnya masih terbilang sedikit itu – karena mereka telah berbuat banyak kerusakan di muka bumi. Semua manusia musnah, kecuali yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh. Namun, hewan-hewan yang hidup di berbagai belahan bumi lainnya selamat berkat naluri bertahan hidup mereka, demikian yang ada dalam pikiran Sony. Sebelum es di kutub meleleh, dia menduga cuaca pasti berubah menjadi sangat panas dan tidak bersahabat. Akibatnya, terjadilah penguapan masif yang menghasilkan gumpalan-gumpalan uap air dalam akumulasi luar biasa sehingga hujan baru berhenti menari setelah empat puluh hari. Dalam cuaca yang sangat panas seperti itu, secara naluriah hewan akan pergi ke tempat yang lebih tinggi karena udaranya lebih sejuk di sana. Sama seperti hewan-hewan yang turun gunung ketika sebuah gunung berapi menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Maka, ketika es di kutub mencair dan bumi tergenang, selamatlah mereka, termasuk nenek moyang Darwin di Kepulauan Galapagos itu.
Peristiwa ini sekaligus mematahkan anggapan para raja ngawur bahwa semua dinosaurus sudah punah. Bahkan ada teori yang menyebutkan dinosaurus punah ketika sebuah meteor raksasa jatuh dari langit, sehingga menimbulkan gelombang panas yang luar biasa, iklim bumi tak lagi bersahabat, dan kemudian es di kutub mencair. Teori ini sepertinya paralel dengan kisah air bah di zaman Nabi Nuh. Hanya saja, teori tersebut seolah menyuratkan bahwa dinosaurus harus dibersihkan dulu agar tidak menjadi ancaman bagi kehadiran manusia yang akan menguasai dunia. Padahal dinosaurus sama sekali bukan ancaman bagi manusia. Mereka hidup berdampingan. Dan sebagian dinosaurus malah menjadi sumber pangan bagi manusia. Sekali lagi, dinosaurus hanyalah sebutan untuk hewan yang berukuran besar.
Kalaupun ada beberapa spesies dinosaurus yang punah, itu bukanlah sesuatu yang mustahil, karena di masa sekarang pun ada saja spesies yang tiba-tiba dilaporkan punah oleh WWF. Tapi tidak semua spesies dinosaurus punah begitu saja. Sebagian besar mereka tetap ada hingga hari ini, namun telah mengalami penyusutan ukuran. Maka, apabila ditemukan fosil dinosaurus setinggi sepuluh meter yang diperkirakan hidup pada zaman Nabi Adam, misalnya, akan dapat ditemukan padanannya pada hewan modern yang tingginya kira-kira enam puluh sentimeter sepanjang ia tidak termasuk dalam jenis spesies dinosaurus yang punah.
Bagi Sony, yang menggelikan adalah bahwa orang-orang pintar itu suka berimajinasi secara berlebihan dalam merekonstruksi fosil-fosil hewan purba. Tulang-belulang yang kadang tidak lengkap itu kemudian disusun ulang dan ditampilkan dalam bentuknya yang hidup dengan tambahan di sana-sini sehingga tampak menyeramkan dan ganas, termasuk bagaimana cara hewan itu bergerak dan apa yang biasa dimakannya. Bahkan tulang-belulang monyet purba direkonstruksi dengan imajinasi yang begitu liar sehingga menyerupai manusia. Lebih konyol lagi, tidak ada dinosaurus yang digambarkan kulitnya berbulu seperti domba atau kucing. Semuanya berkulit kasar seperti biawak, badak atau kudanil. Sebagian malah menyerupai kulit buah salak. Sony juga memperhatikan bahwa burung-burung purba selalu digambarkan memiliki sayap membran seperti kelelawar, bukan bulu yang berhelai-helai.
Analisa karbon digunakan untuk menentukan usia fosil yang ditemukan. Tujuh puluh lima juta tahun, kata mereka. Seratus lima puluh juta tahun, kata yang lainnya. Begitu gampang mereka menyebutkan angka-angka. Lagian, siapa yang bisa menggaransi validitas analisa karbon yang katanya mampu menentukan umur suatu materi hingga milyaran tahun itu. Analisa karbon pasti punya keterbatasan, dan tidak bisa dipakai menghitung secara akurat hingga angka kelipatan yang tak terhingga.
Dengan analisa karbon pula, yang masih mengundang tanda tanya besar itu, mereka mengatakan bahwa dinosaurus hidup sekitar enam puluh lima juta tahun sebelum manusia berkeliaran di muka bumi. Sok tahu mereka. Bukankah mereka tidak pernah menemukan fosil atau tulang belulang manusia raksasa yang bisa dijadikan sebagai pembanding melalui analisa karbon yang hebat itu? Ini penting, untuk memastikan apakah manusia awal dan dinosaurus hidup pada zaman yang terpisah atau hidup secara berdampingan pada zaman yang sama.
Kenapa tidak pernah ditemukan tulang-belulang manusia raksasa? Sony langsung menjawab pertanyaannya sendiri. Tentu saja, tulang-belulang tersebut sudah hancur. Karena manusia yang mati dikuburkan. Qabil mengebumikan mayat Habil yang dibunuhnya setelah melihat burung gagak melakukan hal serupa. Bila Qabil menggali tanah setinggi pusarnya untuk menguburkan Habil, misalnya, berarti mayat adiknya itu ditanam sekitar lima belas meter di bawah tanah. Sedangkan, tulang-belulang hewan purba yang mati di alam liar terserak begitu saja di atas permukaan tanah. Melalui proses alami yang panjang akhirnya tulang-tulang itu membatu menjadi fosil dan di kemudian hari ditemukan oleh konco-konco-nya Darwin.
Kini, setelah mengalami penyusutan luar biasa dalam proses evolusinya, apakah ukuran dan umur manusia akan menyusut lagi di masa yang akan datang? Sony jadi ketakutan sendiri membayangkannya. Bukannya tidak mungkin hal itu akan terjadi, pikirnya. Hanya saja prosesnya pasti akan jauh lebih lambat dan prosentase penyusutannya juga jauh lebih kecil, karena manusia sudah menguasai teknologi maju untuk memenuhi kebutuhan pangannya, termasuk kebutuhan akan ruang tinggal. Tak usah khawatir, pikirnya. Tak perlu takut hidup berdesak-desakan seperti ikan teri. Itu baru akan terjadi berjuta-juta tahun yang akan datang. Dan ketika itu dia sudah menjadi tulang-belulang.
Sony masih mendapati satu lagi titik lemah teori evolusi yang ditulis oleh Darwin, musuh bebuyutannya itu. Bila memang benar semua makhluk hidup berevolusi dari suatu bentuk kehidupan tunggal menjadi spesies-spesies yang berbeda sebagaimana yang diyakini oleh Pak Jenggot, bagaimana mungkin manusia mampu mengembangkan daya nalarnya sedangkan makhluk-makhluk yang lain tidak. Anjing atau sinpanse, yang oleh para ahli perilaku binatang sering dikatakan sebagai spesies pintar, ya begitu-begitu saja. Mereka tetap hewan. Gampang ditipu, seperti Agnes, pacar baru Sony itu. Mereka sama sekali berbeda dengan manusia. Karena memang asal-usulnya sudah berbeda dari sononya.
Kalaupun ada hewan yang benar-benar pintar, itu adalah nyamuk. Sony pernah mendengar bahwa para petugas donor darah itu mampu membuat perhitungan statistik. Tidak seperti anjing laut di panggung hiburan yang seolah pandai berhitung padahal hanya nyontek kode gerakan tangan pelatihnya. Konon, demikian cerita yang pernah didengar Sony, ketika manusia masih tinggal di gua, banyak nyamuk yang mati karena salah sasaran. Di tengah pekatnya malam nyamuk-nyamuk bermanuver sekenanya sehingga mulutnya yang bertombak itu patah karena salah menghujam ke batu keras yang dikira manusia. Mereka tidak bisa membedakan mana manusia dan mana batu di dalam kegelapan malam.
Karena khawatir jumlah nyamuk akan menipis dan kemudian punah, raja nyamuk mengumpulkan rakyatnya untuk mencari solusi terbaik to save the mosquito race. Setelah dilakukan berbagai percobaan dan dibuat simulasi berkali-kali, akhirnya ditemukan bahwa bila berdengung dulu sebelum menggigit manusia yang sedang tidur, nyamuk bisa mengidentifikasi mana batu dan mana manusia. Karena terganggu bunyi dengungan, manusia akan menggerakkan tangannya untuk mengusir nyamuk sialan itu. Cara ini membawa hasil. Gerakan tangan itulah yang membedakan antara manusia dan batu. Peluangnya delapan selamat dan kenyang, dua mati kena tepukan tangan. Sedangkan apabila tanpa berdengung, delapan mati karena jarumnya patah setelah salah menombak batu dan dua selamat dalam keadaan kenyang.
Kecerdasan nyamuk diakui oleh PMI. Beredar kabar rahasia bahwa raja nyamuk telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Pak Mar’ie Muhammad. Di dalam Memorandum of Understanding sebanyak tiga belas halaman folio itu disebutkan bahwa semua nyamuk tanpa terkecuali wajib menyetorkan separuh dari darah yang disedotnya kepada PMI. Kalau ada yang berani melanggar perjanjian, maka akan diburu hingga ke selokan yang paling bau sekalipun. Cara ini terpaksa ditempuh karena donor darah sukarela semakin langka, sementara kebutuhan darah kian bertambah. Di semua kantor PMI di seluruh Indonesia telah dibangun pintu-pintu rahasia di mana nyamuk dapat datang dan pergi secara leluasa tanpa diketahui oleh umum.
Kebetulan Pak Mar’ie kenalan lama, sehingga Sony kebagian pekerjaan membuat brosur dan poster untuk program sosialisasinya. Seukuran kuku jari kelingking dilipat empat untuk brosur, dan posternya sebesar sepuluh kali dua puluh milimeter, masing-masing dicetak dua ratus juta eksemplar. Sedangkan Ahmad Yani, pesaing kuat Sony, memenangkan lelang pembuatan handuk nyamuk ukuran lima kali sepuluh milimeter dengan logo kerajaan nyamuk dan PMI di tengahnya, diproduksi sebanyak lima ratus juta unit. Tapi Yani harus menelan kecewa. Dia dibayar pakai duit nyamuk. Somasi sudah dilayangkan ke pihak PMI, karena alamat raja nyamuk tak pernah dia temukan. Pak Mar’ie memilih bungkam. Sepertinya dia mencoba melindungi koleganya yang bersayap itu.
Tapi nyamuk tetaplah nyamuk. Sepintar apapun dia, masih bisa dikadalin sama Pak Mar’ie. Berbeda dengan manusia yang mampu menggunakan nalarnya. Dan kemampuan ini pula yang menjadikan manusia mampu mengembangkan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Hal yang sama tidak dijumpai pada hewan, meskipun banyak ahli perilaku binatang percaya beberapa spesies hewan mampu berkomunikasi dengan sejenisnya dalam bahasa mereka sendiri. Ayam jago, misalnya, berkukuruyuk untuk membangunkan kawan-kawannya di pagi hari. Dengan dada membusung, pejantan berjengger merah itu meneriakkan suara kukuruyuk untuk menegaskan kehebatannya di hadapan ayam-ayam jago lainnya, untuk bernyanyi menghibur diri, untuk menarik perhatian ayam betina. Kuukuuruuyuuuuuuk …. “Kog kog petoog, petoooog,” sahut ayam betina. “I’m coming, Honey!”
Berbahasa membutuhkan kerja otak yang luar biasa kompleks. Otak ayam hanya sebesar biji kacang kedelai. Bandingkan dengan ukuran badannya. Atau, ambil contoh lain. Gajah, misalnya, malah lebih parah. Dengan tubuhnya yang begitu tambun dan menuh-menuhin tempat, otaknya tak lebih dari sekepalan tangan manusia. Bagaimana mungkin otak sekecil itu mampu memproses kegiatan berbahasa yang begitu rumit. Bandingkan dengan otak manusia yang berukuran besar, dan itupun baru dimanfaatkan sekitar sepuluh persen dari seluruh kapasitasnya. Memang, hewan berkomunikasi dengan suara mereka, tapi mereka sama sekali tidak berbahasa. Hanya bunyi-bunyi tertentu dengan varian bunyi yang sangat terbatas, dengan makna dan tujuan yang terbatas pula, dan hanya dimengerti sebatas jenis mereka sendiri.
Jelas, hewan tidak berbahasa. Berbeda dengan manusia. Sony pernah pergi ke Phuket, Thailand, menghadiri konferensi HAKI se-Asia-Pasifik. Dia sama sekali tidak mengerti bahasa penduduk setempat. Ketika pergi ke pasar suvenir pada siang hari untuk membeli oleh-oleh bagi anak dan istrinya, dia mendengarkan banyak bunyi-bunyian yang tidak dikenalnya keluar dari mulut orang-orang yang sedang berjual-beli. Asing memang suara-suara itu di telinganya. Tapi begitu kaya bunyinya. Itulah bahasa. Bukan sekedar meang-meong seperti kucing di musim kawin, yang sepanjang malam mengganggu tidurnya dengan rayuan gombal tak bermutu. Maaauuuuu … ndak maaauuuuu … maaauuuuu … ndak maaauuuuu …. Yang kira-kira artinya begini, “Mau kagak? Kalau mau, ayo. Kalau tak mau, ya sudah.” Apakah itu berbahasa?
Tapi, tunggu sebentar. Bukankah Nabi Sulaiman diriwayatkan mampu berbicara dengan binatang? Sony lebih suka berpikiran terbuka mengenai soal ini. Nabi Sulaiman adalah seorang ilmuwan besar dengan berbagai kelebihan yang dianugerahkan kepadanya. Di samping masyhur sebagai arsitek jempolan dan ahli hukum yang hebat, Nabi Sulaiman adalah seorang naturalis, pecinta kehidupan. Beliau mempelajari secara seksama semua makhluk hidup – baik manusia, jin, binatang maupun tumbuhan – sehingga di dalam dirinya tumbuh pemahaman yang sangat luas dan mendalam. Maka, ketika melihat banyak gundukan kecil di tanah, beliau menyuruh rombongan pasukannya berbelok karena di depan ada banyak semut yang akan mati terinjak-injak bila mereka tetap mengambil jalan itu.
Tapi, bukankah Nabi Sulaiman berbicara dengan dan mengomeli burung Hud Hud yang pulang terlambat? Sebagian orang percaya bahwa burung Hud Hud itu adalah sebuah pesawat pengintai. Nabi Sulaiman yang menguasai pasukan bangsa jin dan manusia-manusia jempolan adalah seorang penguasa angin yang memiliki sebuah wahana (baca: pesawat terbang) yang mampu mengangkut seluruh pasukannya, lengkap dengan perbekalan mereka, dalam waktu singkat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Sebuah pencapaian peradaban yang sangat tinggi, yang, sayangnya, kemudian hilang tak berbekas.
Tunggu dulu. Bukankah burung beo mampu menirukan suara manusia? “Assalamu’alaikum, Pak Kumis. Apa kabar hari ini?” Mirip sekali dengan suara manusia. Pak RT yang berkumis serabutan itu tingak-tinguk mencari orang yang menyapanya. Tidak ada siapa-siapa di sepanjang gang. Jangan-jangan hantu, pikirnya. Dia garuk-garuk kepala. Sedikit merinding. Sementara dari balik pagar yang bertirai rimbunnya perdu, seekor burung beo jahil cekikikan melihat tingkah polanya. Tapi beo yang sok tahu itu hanya menirukan ucapan-ucapan yang diajarkan kepadanya, dan jumlahnya hanya beberapa. Kalau terlalu banyak, otaknya bisa mendidih, dan kemudian meledak.
Berbeda sekali dengan manusia mampu menggunakan nalarnya untuk mengembangkan bahasa. Karena itu, bahasa manusia senantiasa berkembang, sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia itu sendiri. Dan akan terus berkembang sepanjang masa. Sehingga Sony tak habis pikir dengan segala kerepotan yang dilakukan para ahli percakapan dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Bahasa.
“Tuan sedang membangun penjara untuk bahasa kita, agar bisa diatur dan berperilaku seperti yang Tuan kehendaki. Orang waras mana yang bisa berpikiran seperti itu. Tuan telah merampas hak suatu bahasa untuk berkembang. Tentu, setelah itu Tuan akan membentuk satuan polisi bahasa, yang akan menangkap dan memborgol kata-kata.”

2. Anak

Sony terlahir dari keluarga biasa-biasa saja. Ayahnya seorang guru sekolah Muhammadiyah, sedangkan ibunya pegawai negeri sipil dengan golongan pangkat rendahan. Pernah sekali terpikir olehnya, seandainya saja dia terlahir sebagai salah satu putra mantan Presiden Soeharto – asal jangan Mas Tommy, karena duda ganteng itu sempat mondok di Nusakambangan – pasti bisnisnya sekarang sudah menggurita dan bernilai trilyunan. Tapi dibuangnya jauh-jauh pikiran gila tersebut. Karena setiap orang dilahirkan ke dunia tanpa bisa memilih. Bisa saja dilahirkan dari keluarga tukang becak, presiden, menteri, pengusaha, bupati atau bahkan juragan togel. Kalaupun kebetulan dilahirkan dari keluarga kurang mampu, tak perlu kecewa, apalagi minder dan putus asa. Tuhan punya tujuan sendiri untuk menetapkannya demikian. Dan itu pasti yang terbaik.
Sony lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur pada pertengahan tahun enam puluhan. Dia sepenuh sadar bahwa manusia tak bisa memilih mau dilahirkan kapan dan di mana. Di tengah siang bolong atau di penghujung fajar. Di Jakarta atau di kutub utara. Di rumah sakit atau di dipan bambu di rumah dukun beranak. Pula, manusia tak punya kuasa menuntut agar kelahirannya dibantu oleh Bu Bidan atau ditolong Pak Dokter. Melalui proses kelahiran yang normal atau lewat operasi sesar. Bahkan juga tidak perlu pusing apakah dilahirkan sebagai bayi bule bermata biru terang, bayi Arab yang masih kecil hidungnya sudah mancung, atau bayi Afrika yang berbibir tebal dan berkulit legam. Kesadaran inilah yang setiap kali mengingatkan Sony untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah diraihnya selama ini.
Manusia sesungguhnya sangat beruntung, pikir Sony. Begitu lahir, ibu langsung mendekap bayinya dengan pelukan hangat sambil menitikkan air mata bahagia. Dalam keadaan masih kecapaian sehabis melahirkan, disorongkannya puting susunya ke mulut mungil bayi yang menggemaskan itu agar bisa minum ASI sepuasnya. Meski posisi menyusui kadang-kadang membuat badan terasa pegal-pegal, tak seorang pun ibu yang pernah mengeluhkannya. Bahkan, ketika bayi mulai tumbuh gigi dan gemar menggigit-gigit pentil susu ibunya, rasa sakit dan pedih itu hilang begitu saja ketika melihat bayinya yang imut tersenyum dan menggerak-gerakkan tangannya sambil sesekali melonjak-lonjak. Seolah ingin segera melompat berdiri dan menguasai dunia.
Bandingkan dengan bayi sapi yang baru lahir. Dalam hitungan menit, sapi unyil itu harus berjalan dengan kaki yang masih tertatih-tatih mencari puting susu induknya. Dia mesti berjuang sendiri. Bapaknya tak mau menggendong. Ibunya juga cuek. Mungkin masih kehabisan tenaga setelah melahirkan. Cempe itu terus mencari kesana-kemari dengan berjalan sempoyongan. Induknya sekedar melirik sambil cengengesan.
“Kalau sudah ketemu, langsung saja eloe sedot. Kalau belum, ya cari lagi. Jangan putus asa. Hidup ini memang berat. Masih untung emakmu tidak jadi dipotong untuk dijadikan bakso atau sop konro. Oom dan tantemu bahkan harus pergi tanpa sempat berpamitan. Tapi mereka tidak mengeluh, karena sudah tahu suatu hari nanti hidupnya akan berakhir di piring.”
Bayi sapi itu sudah sangat kehausan. Kelihatan sekali. Napasnya ngos-ngosan. Beruntung, akhirnya dia temukan juga benda lunak yang bentuknya menyerupai dot besar itu. Langsung tancap gas, pedal rem tak perlu diinjak. Pokoknya harus minum sepuas-puasnya. Ini anak benar-benar serakah dan kemaruk. Air susu emaknya digenjot habis-habisan. Begitu kenyangnya dia, sehingga harus berdiri dengan kaki-kaki yang bergetar. Matanya kedap-kedip, mengisyaratkan panggilan alam. Mengantuk. Tak perlu repot-repot cari kasur. Tak usah mikirin popok kalau-kalau nanti ngompol. Toh, dia tidak di-bedong. Ada tempat yang sedikit nyaman dan teduh, kaki langsung ditekuk dan kepala diturunkan. Pelor. Nempel langsung molor. Sudah. Begitu saja.
Krucuk krucuk krucuuuuk …. Krucuk krucuk krucuuuuk …. Perutnya bernyanyi dengan irama lembut, minta diisi lagi. Sama seperti bayi manusia, dia juga akan bangun begitu merasa lapar. Tapi, manusia ya manusia. Sapi ya tetap sapi. Nggak boleh disama-samain. Kalau dibanding-bandingkan, bolehlah. Maka, dengan tak sabar sapi kecil itu segera mencari sasarannya. Tapi dia mengalami kesulitan. Rupanya sewaktu tertidur tadi, induknya berpindah ke lahan sebelah mencari rumput yang lebih tebal. Berkali-kali menyeruduk ke kiri dan ke kanan, tak kunjung ditemukannya benda itu. Sempat beberapa kali ketemu tonggak yang mirip kenyotan favoritnya. Langsung disedot-sedot. Sialan. Tak keluar airnya. Mbok … mbok …, ojo ngece aku. Moooooh.
Para koboi, si penggembala sapi, memperhatikan kebodohan sapi imut tersebut dengan seksama sambil ketawa-ketawa. Bukannya mengajari sapi blo’on itu menemukan kenyotannya dengan mudah, mereka malah memanfaatkannya untuk tujuan iseng. Bayi sapi yang suka srondal-srondol tersebut disuruh menghukum maling sapi yang tertangkap. Caranya? Maling sapi ditelanjangi dan kemudian diikat berdiri pada sebatang tonggak. Bayi sapi bego itu kemudian digiring mendekati maling yang sudah terikat tadi.
“Sedap benar baunya, pasti ini makanan gue.” Tanpa kerja keras, dia segera menemukan benda lunak yang bentuknya menyerupai dot besar itu. Hap. Langsung di-emut-emut. Teksturnya mirip. Tapi, rasanya kok agak aneh? Bodoh amat. Tancap teruuuss …. Tentu saja, si maling kejet-kejet, terguncang-guncang. Rasain loe. Masih mending daripada dihukum gantung.
Namun manusia suka bersikap keterlaluan dan tidak beradab ketika seorang bayi terlahir kurang sempurna alias cacat. Misalnya, bila bayi lahir tanpa kaki atau tangan. Pihak keluarga cenderung akan menyembunyikan peristiwa kelahiran yang dianggap memalukan itu. “Aib. Kutukan dewata,” kata mereka. Sebaliknya, bila yang terlahir cacat adalah sapi, maka dia akan segera bikin woro-woro yang menggemparkan seisi kampung.
“Ada sapi ajaib. Kepalanya dua belas kakinya delapan.” Dengan bangga dia melayani wawancara reporter TV. Sesekali mejeng, boleh dong. Kotak sumbangan pun disiapkan di depan kandang, untuk membantu biaya pemeliharaan sapi-gurita itu, atau, sapi-anggur, karena kepalanya bergerombol. Malah ada yang bikin karcis segala. Dewasa lima ribu, anak-anak tiga ribu saja. Meski tidak tersedia tempat duduk, pengunjung boleh menonton sapi ajaib itu sepuasnya. Sejumlah pemuda tanggung memanfaatkan keramaian tersebut dengan membuka parkir dadakan untuk mobil dan motor. Sebagian lagi bikin kaos sablon.
Masya’ Allah. Itu kan cuma binatang yang kebetulan terlahir cacat, tidak sempurna. Tak perlu dilebih-lebihkan, apalagi dikeramatkan. Anomali seperti ini juga bisa terjadi pada tumbuhan maupun manusia. Di mana pun dan kapan pun. Biasa saja. Tapi manusia gampang tergoda untuk melihatnya dengan sudut pandang yang lain.
“Ini pertanda akan datang goro-goro dari delapan penjuru mata angin setahun ke depan. Berupa dua belas raksasa berambut geni yang nggak pernah mandi dan gosok gigi,” jelas Pak Aman, si empunya sapi invalid tersebut, sambil sesekali tangannya menepuk-nepuk salah satu dari kedua belas kepala sapi jelek itu. Anehnya, sapi kecil tersebut ikut manggut-manggut. Seolah membenarkan ucapan tuannya.
Kali ini Pak Aman tidak sendirian berbicara di hadapan media. Sesosok angker berjubah gelap berdiri di samping kirinya. Ikat kepala hitam kusam, kacamata gelap lebar, kumis dan jenggot lebat yang senantiasa berkibar-kibar menyembunyikan wajahnya. Tapi kelihatan jelas pipinya kasar, berlubang-lubang. Mungkin bekas cacar semasa balita. Kedua tangannya bersedakap di dadanya yang tak terlalu bidang. Pandangan matanya entah ke mana. Karena tertutup kacamata hitam. Atau, jangan-jangan, dia buta, pikir Sony. Jangan su’udon dulu, apalagi berprasangka. Meski pakaiannya serba hitam dari atas ke bawah, belum tentu dia orang jahat. Warna hitam kan tidak selalu merepresentasikan sesuatu yang buruk. Betul kan, Pak Permadi? Malahan, warna putih kadang-kadang berarti kurang baik. Misalnya, keputihan.
Salah satu kamera wartawan dengan iseng menyorot gelang akar bahar yang menghiasi pergelangan tangan sang dukun. Besar-besar dan legam. Berlenggak-lenggok liar, dengan cabang-cabang kecilnya yang saling melilit tak beraturan, persis seperti kabel telepon milik Telkom yang baru saja terbakar. Close up bergeser ke arah jemarinya yang dikawal sejumlah cincin alpaka yang mengikat batu-batu akik sebesar telor puyuh. Sony yakin, ini orang pasti masih satu komunitas dengan Tessy Srimulat. “Heeem …!” Hanya suara itu yang terdengar dari mulutnya. Lantang dan berwibawa. Bikin berdiri bulu roma. Meski begitu, Sony juga yakin, sekali lagi, dia tidak bisu.
“Sudah ada yang nawar enam ratus juta. Tapi saya belum mau lepas,” tambah Pak Aman yang bertubuh kerempeng dan wajahnya terlihat agak culun itu. Katrok, kata Tukul.
Tentu saja sapi kecil tersebut stres karena setiap hari dikerubuti banyak orang dan setiap saat harus menghadapi sorotan lampu kamera. Minum susu jadi tidak teratur, walaupun telah disediakan bermacam-macam susu formula yang mengandung vitamin A-Z, plus DHA dan Omega 3. Tidur juga tak teratur. Lebih menjengkelkan lagi, Pak Aman selalu menggulang-ngulang pesan yang sama setiap pagi, “Kamu harus murah senyum di depan kamera.” Sinting. “Aku ini sapi. Belum pernah ikut kursus acting.”
Dan lebih gila lagi, banyak juga wartawan yang mencoba mewawancarainya, mengajaknya bicara. Edan. “Heey … aku ini sapi! Mooooooh ….” Berkali-kali dia harus berteriak seperti itu. Tapi tak seorang pun mengerti ucapannya. Tidak juga mbah dukun sakti yang seram itu. Karena terlalu capek, stres dan nelongso, akhirnya sapi gurita itu mati keesokan harinya. Pak Aman menangis berguling-guling. Hilang sudah duit enam ratus juta.
Sudah. Sudah. Jangan mikirin sapi melulu. Manusia sebaiknya ngomong soal manusia saja. Gitu, lho. Sony tersadar dari lamunannya ketika nyala api rokoknya yang semakin memendek itu menggigit jarinya. Tapi syaraf-syaraf di otaknya tak mau diatur. Mereka membujuk jantung agar mau mengalirkan lebih banyak lagi campuran darah dan oksigen sebagai bekal untuk berjalan-jalan. Ya sudah, kalau maunya begitu, silahkan lanjut.
Tiba-tiba muncul kelebat Sarah, adik iparnya. “Lihat Pa, bibirnya seperti aku, matanya dari kamu. Hidungnya yang agak besar menurun dari kakeknya.” Siapa sih, yang tidak berbahagia kedatangan anggota keluarga baru yang mungil dan lucu itu? Semua orang pasti menginginkan bayinya lahir dalam keadaan sempurna dan sehat. Laki-laki atau perempuan tidaklah penting, sama saja. Pokoke sehat. Titik.
Masih segar dalam ingatan Sarah nasehat Ustadz Kadir, “Sar, banyak sholat malam. Minta sama Allah. Dan jaga perangai kamu. Insya’ Allah, permohonanmu akan dikabulkan.” Benar. Sarah telah mendapatkan sebuah karunia yang luar biasa. Seorang bayi perempuan yang montok dan lucu.
“Pa, jangan lupa kasih tahu suster supaya nanti sore kupingnya ditindik. Tadi saya sudah suruh Candy beli anting emas dua gram di pasar.” Pasangan muda itu saling bertatapan, saling tersenyum, dan kemudian berpelukan.
“Ma, aku sudah siapkan nama untuknya, Soleha. Mama ada titipan nama apa? Jadi bisa digabung,” kata suaminya dengan suara setengah berbisik sambil tak henti-hentinya mengelus-elus kening istrinya.
“Arini, Pa. Kita taruh nama pilihan aku itu di depan,” jawab istrinya dengan manja. Jadilah Arini Soleha. “Mudah-mudahan kalau sudah besar nanti kamu tidak berjodoh dengan Baim Wong, nak. Karena jelas-jelas usia kalian terpaut sangat jauh. Dia pasti sudah jadi kakek-kakek peot.”
Sukacita, ungkapan apalagi yang paling tepat untuk menggambarkan kebahagiaan itu. Buah cinta anak manusia, orok yang belum mengerti apa-apa itu, adalah harta yang paling berharga bagi setiap keluarga. Sehingga Sony tak pernah habis pikir bagaimana seorang ibu tega membuang bayi merah yang baru dilahirkannya di WC umum ke dalam tong sampah. Dibungkus tas kresek lagi. Untung cepat ketahuan, sehingga bisa diselamatkan. Tapi banyak juga yang ditemukan dalam keadaan sudah meninggal, atau sudah dicekek sebelumnya.
Laknat sekali perbuatan mereka. Lebih parah lagi, (calon) bapaknya juga ngilang begitu saja. Kalaupun tahu, biasanya dia berlagak bego. “Itu bukan saya. Pasti orang lain. Kan, saya bukan pemain tunggal. Salome,” kilahnya.
Heeeeey … manusia laknat, setan apa gerangan yang telah merasuki kalian hingga berperilaku lebih rendah dari binatang?! Apakah kalian tidak malu? Apakah kalian tidak takut pada hukum Tuhan?
Kalau saja Sony ketemu langsung dengan mereka, pasti dia jewer kupingnya hingga molor sepuluh senti. Setelah itu, serahkan saja kepada penduduk. Biar ditentukan hukuman apa yang sepadan untuk perilaku bejat seperti itu. Dirajam? Why not? Mereka sangat pantas mendapatkan hukuman yang pedih itu. Ini kan cuma siksa dunia. Masih jauh lebih ringan daripada siksa di akherat kelak.
Lagian, apa sih, yang mereka takutkan, sehingga harus membunuh bayi yang tak berdosa itu? Malu? Waktu berbuat, apakah sudah dipikirkan masak-masak akibatnya? Tentu saja tidak. Lha wong lagi asyik melek-merem. Kalaupun sempat terpikir, pasti setan akan langsung menutup keran aliran darah ke akal sehat dan membuka lebar-lebar semua hidran untuk menggelontorkan campuran darah-oksigen-viagra-sosis-acar-kopi-bir ke dalam syaraf-syaraf birahi, seperti yang sering mereka lakukan terhadap kuda maupun singa.
Setan menang lagi. Rencananya sangat jelas. Manusia digiring melakukan dosa yang lebih besar setelah dia berhasil menjerumuskan mereka ke dalam jebakan mautnya. “Bunuh saja. Biar tidak bikin repot. Kalian kan masih muda. Energi besar, dan meluap-luap. Harus disalurkan setiap hari.”
Di rumah kosong itu, seorang remaja kencur agak ragu-ragu ketika hendak memasukkan bayi yang baru dilahirkan ceweknya ke dalam kantong plastik. Gamang. Sekali lagi ditengoknya pacarnya yang masih tergolek pingsan karena pendarahan. Orok merah yang dibungkus kain pel berwarna biru kusam itu terus menangis. Dia bekap mulutnya agar mau diam. Bayi itu malah menangis sejadi-jadinya. Nuraninya mengatakan tak tega. Tapi setan terus membujuknya, “Ayo. Lakukan. Lakukan. Bunuh saja. Nanti kita bikin reuni di neraka.” Mau, kamu?
Ada pula yang takut tak mampu menghidupi si orok nantinya, sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidup sang bayi agar tidak membebani dirinya kelak. Sok tahu mereka. Dan mau menangnya sendiri. Setiap anak lahir ke dunia membawa rezekinya masing-masing. Sudah diatur dari sononya. Tidak usah khawatir. Rajin-rajin sajalah sholat dhuha. Niscaya akan segera diturunkan rezeki yang masih menggantung di langit dan dimunculkan yang masih tenggelam di lautan. Tapi bukan berarti tak perlu bekerja keras untuk menafkahinya. Harus terus bekerja keras, sambil memohon ampunan Tuhan. Allah pasti akan mengampuni dan memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang mau bertobat dan memperbaiki diri.
Lagian, ngapain mesti dimatiin? Pendek banget loe punya pikiran. Berikan saja kepada orang. Tidak harus panti asuhan. Kalau takut ketahuan, tinggalkan saja di masjid, misalnya. Itu lebih baik, dan beradab. Jangan ditaruh di bak sampah. Kasihan. Bayi juga manusia. Banyak kok keluarga-keluarga – walaupun kehidupan mereka tidak terlalu berkecukupan secara materi – yang mau menerima dan membesarkan bayi yang bahkan tidak pernah mereka kenal siapa orangtua kandungnya?
Jadi …, sekali lagi, jangan dimatiin! Emangnya eloe bisa menciptakan kehidupan, sehingga eloe berani menghilangkan sebuah kehidupan? Ngaca! Hargai kehidupan! Sony jadi agak lepas kendali dan terlalu berapi-api mengenai soal yang satu ini.
Anak itu anugerah Tuhan, dan juga milik Allah. Orangtua hanya menerima titipan, amanah untuk membesarkannya menjadi orang yang baik dan berguna. Dan itu pun tidak gratis. Tuhan akan membayar semua jerih payanya. Akan diberikan ganjaran yang sepadan. Jangan khawatir soal makannya, bajunya, sekolahnya. Itu anak sudah punya garis rezekinya sendiri.
Para orangtua dahulu bahkan percaya, “Banyak anak banyak rezeki”. Tak terhitung keluarga yang memiliki anak lebih dari sepuluh. Sepuluh? Ya, sepanjang mampu menyayangi dan mendidik mereka secara baik. Tapi kalau merasa belum mampu, sebaiknya jangan. Banyak jumlahnya, tapi tidak terurus, alias keleleran. Sehingga berkontribusi besar terhadap penciptaan generasi yang kurang berkualitas. Mendingan ikut KB, cukup dua anak, laki perempuan sama saja. Jadi, ini bukan melulu soal bagaimana memberi makan. Melainkan, bagaimana memberikan kehidupan yang berkualitas kepada mereka.
Soal, kasih makan? Gampang. Tak usah takut. Jangan sekali-kali anak dianggap sebagai beban tambahan. Sebaliknya, sebagai pemacu semangat untuk bekerja lebih keras. Lihat saja Cina, yang jumlah penduduknya lebih dari 1,3 milyar jiwa. Toh, mereka bisa hidup makmur. Tak kurang makan. Bahkan dapat dikatakan berkelimpahan. Memang, ada pembatasan jumlah anak di sana. Tapi itu bukan karena takut tidak bisa kasih makan. Ini masalah keterbatasan ruang untuk hidup. Luas wilayah kan tidak serta merta bisa dimekarkan untuk menampung penduduk yang jumlahnya berjibun. Lagian, mengurus orang sebegitu banyak pasti juga tidak mudah, kan?
“Pak, ini daftar uang makan karyawan. Saya juga sudah siapkan cek dan giro yang harus Bapak tanda tangani.”
Ucapan Anita membuyarkan lamunannya. Seraya mengucek-ucek kedua matanya, Sony memeriksa berkas-berkas yang diajukan oleh staf keuangannya itu. Setelah memastikan semuanya beres, dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Gadis berjilbab itu segera memasukkan berkas-berkas tersebut ke dalam map. Tak lupa pula dia membereskan meja Sony yang agak berantakan.
“Bapak, kalau merokok abunya jangan ke mana-mana, dong. Kasihan OB, harus membersihan sampai ke kolong.”
Anita kadang berfungsi seperti sekretaris baginya. Meski Sony punya seorang sekretaris, Sandy namanya. Hanya saja orangnya kurang cekatan. Namun, karena molek luar biasa, banyak klien Sony yang merasa senang dan nyaman dilayaninya, sehingga Belanda Depok itu tetap dipertahankannya. Sebagai pajangan. Sedangkan untuk urusan-urusan penting, selama ini Anitalah yang menanganinya.
Gadis Tionghwa asal Pontianak itu memang pekerja yang handal. Di samping mengurus keuangan, perempuan beranak satu itu juga berfungsi ganda menangani urusan umum. Untuk urusan surat-surat, Sony lebih suka melakukannya sendiri. Tapi dia merasa sangat beruntung memiliki karyawan seperti Anita. Di samping cekatan dan pintar, wanita berkulit putih bersih yang hanya lulusan kursus komputer itu rajin sekali sholatnya. Namun, kadang-kadang sikapnya suka ketus, dan ngomongnya ceplas-ceplos. Tidak apa-apa. Pada dasarnya dia orang yang baik dan sopan, dan lebih penting lagi, bisa dipercaya.
Kepercayaan adalah sesuatu yang tak dapat ditawar, dan tidak boleh diciderai. Apalagi kalau sampai dimanfaatkan untuk tujuan mengelabui. Seperti yang pernah dilakukan pemerintahan Odol Bau di masa lalu. Dengan menyodorkan dalil-dalil yang menyesatkan namun meyakinkan, mereka mengatakan bahwa jumlah penduduk yang banyak akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sehingga kesejahteraan akan lebih sulit diraih. Karena terlalu banyak mulut yang harus disuapi. Ini benar-benar ngapusi.
Negara melihat anak-anaknya, penduduk yang berjubel itu, sebagai kendala kemakmuran. Manusia dipandang sebagai beban. Padahal negara-negara maju jauh-jauh hari sudah melihat penduduk Indonesia yang jumlahnya banyak sebagai pasar yang menggiurkan. Demikian pula cara pemerintah Cina memandang penduduknya yang berdesak-desakan. Sebuah pasar raksasa yang mampu menggerakkan ekonomi pada gigi delapan. “Wuuuuuus … yang lain, jadi ketinggalan,” kata Komeng.
Di mana pun di dunia ini, ekonomi digerakkan oleh konsumsi. Dan konsumsi pula yang membuat sektor riil terus menggelinding seraya membagi-bagikan daya beli. Sehingga real economy, bukan bubble economy, tanpa perlu disuruh-suruh akan jalan sendiri. Tak perlu khawatir kekurangan beras untuk memberi makan penduduk yang banyaknya seperti tumpukan jerami. Impor saja kekurangannya bila produksi rumput berbulir di dalam negeri belum mencukupi. Juga bisa digalakkan diversifikasi pangan, sehingga tidak melulu tergantung pada butiran padi. Toh, purchasing power akan terbentuk dan menguat sendiri sepanjang sektor riil tidak enggan melangkahkan kaki. Tak akan terjadi busung lapar sepanjang masyarakat memiliki daya beli. Jadi, jangan menganggap mulut-mulut yang mangap itu sebagai sesuatu yang membebani. Sebaliknya, tanpa daya beli, akan sulit untuk mewujudkan ketahanan pangan maupun memasyarakatkan diversifikasi pangan. Tanpa daya beli, yang ada hanyalah keterpaksaan pangan. Terpaksa makan nasi aking. Terpaksa makan singkong. Terpaksa menyantap makanan kadaluarsa. Terpaksa tidak makan.
Namun, banyak orang yang menganggap tugasnya selesai begitu saja setelah mampu membuat perut anaknya kenyang dan memberikan pakaian yang bagus-bagus. Belum, Tuan. Mereka bukan binatang piaraan, yang sekedar butuh makan cukup dan kandang yang bersih. Kertas putih polos itu harus diisi dengan tulisan dan gambar yang baik-baik agar anak nantinya tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Lebih penting lagi, membesarkan anak dengan kasih sayang, karena itulah sumber gizi yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan.
Kasih sayang. Memang takarannya tak gampang. Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh pula kurang. Tengok saja kebiasaan para orangtua yang memperlakukan bayi dengan extra hati-hati. Tidak seperti orang Barat yang membiarkan bayi merah tengkurap begitu saja. Mereka tidak tega melakukannya. Karena bayi belum kuat mengangkat kepala. Takut kalau-kalau mulut dan hidungnya menempel di kasur dan menutup jalan pernapasan. Bahkan, obat puyer dari dokter harus diminumkan ke anak dengan dicampur gula terlebih dahulu. Biar tidak pahit. Makanya, orang Indonesia tidak suka minum susu tawar. Karena sedari kecil sudah dibiasakan dengan yang manis-manis. Sehingga, kalau ada produsen yang ngotot menjual susu tawar kalengan siap minum di sini, sesungguhnya mereka sedang menyusahkan diri sendiri. Atau, sedang melakukan proses edukasi konsumen? Biar sajalah. Itu urusan mereka. Pasti sudah ada hitung-hitungannya.
Justru Sony belum pernah menemukan produk saus tomat khusus anak. Padahal, kedua anaknya, Rizky dan Salsa, demikian pula anak-anak sebaya mereka, doyan sekali saus tomat. Chicken nugget dan sosis tak akan mereka sentuh bila tidak ada saos tomatnya. Bikin saja Tomato Kidz, misalnya. Saus tomat yang agak manis. Biar mereka tambah lahap makannya. Juga Chili Kidz, yang tidak terlalu pedas. Karena anak senang mencoba-coba makanan orang dewasa. Eh, kebalik. Orang dewasa malahan yang suka iseng makan cemilan anak. Karena rasanya memang enak. Para produsen tahu benar, anak sering kali susah makan. Makanya mereka beramai-ramai memanjakan anak dengan ratusan, bahkan ribuan, jenis cemilan yang menggoda selera.
Tapi Sony selalu berusaha tidak terlalu memanjakan kedua anaknya. Sesekali dia menghukum mereka bila agak bandel. Hal tersebut sama sekali tak membuat anak-anaknya menggaris jarak dengannya. Hanya saja, semenjak masuk TK, Salsa tak pernah mau lagi dikeloni bapaknya. Dia langsung menolak apabila papanya menawarkan diri untuk mengeloninya.
“Papa suka kentut, dan berminyak,” katanya, sambil menunjuk wajah Sony yang mengkilap.
Agak tersinggung dia dibilang seperti itu oleh anaknya sendiri. Tapi, sudahlah. Pasti gadis imut yang gemar ngupil itu tak punya maksud apa-apa. Asal ngomong. Tiada sedikit pun niatan untuk menyinggung perasaan papanya. Namun, bukan Sony namanya kalau tidak menemukan jalan memutar untuk mewujudkan keinginannya. Setiap kali putrinya yang suka tidur ngiler itu terlelap sambil memeluk bantal iler favoritnya, Sony pelan-pelan merebahkan diri di sampingnya. Dia elus-elus keningnya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Dia ciumi rambutnya yang wangi. Dia pegang-pegang hidungnya yang mungil. Dia usap-usap pipinya yang lembut.
Tanpa sadar, Salsa, yang tampaknya sedang bermimpi, memeluknya. Tangannya yang kecil suka usil menggaruk-garuk leher Sony. Mungkin dia mengira sedang dikeloni mamanya. Sony senang-senang saja. Karena mendapatkan bahan untuk meledek putrinya secara telak. “Sa, waktu tidur semalam, kamu peluk-peluk Papa, ya?”
Mendengar ucapan papanya seperti itu, Salsa biasanya malu, langsung ngambek, marah dan kemudian menangis agak lama. Tapi tangisnya akan segera reda begitu Sony mulai menceritakan petilan-petilan kisah dari masa kecilnya kepada putrinya yang luar biasa susah kalau disuruh gosok gigi itu. Bahkan, rasa-rasanya Salsa sudah hapal semua kisah masa kecil Sony. Sering dia merengek-rengek memintanya bercerita. Tak pernah bosan, meskipun cerita itu diulang-ulang, karena Sony sudah banyak lupa akan kenangan masa kecilnya.
Kegemaran Salsa mendengarkan cerita persis sama seperti ketika Sony masih kecil dulu. Dia selalu merengek-rengek kepada ibunya agar mau mendongeng. Kebetulan, ibu Sony memiliki perbendaharaan cerita yang luar biasa. Sebagian besar cerita rakyat, dan sebagian lagi dongeng-dongeng dari Eropa, terutama karangan H.C. Andersen. Namun Sony kecil suka bingung sendiri, karena kalau sedang asyik bercerita, tanpa sadar ibunya sering mencampur-campur bahasa: Jawa, Jepang, Belanda, Inggris dan Indonesia. Salsa selalu mengingatkannya pada kenangan masa kecil. Mereka berdua memiliki banyak kemiripan di usia yang sama. Ngiler kalau tidur. Suka ngompol. Malas gosok gigi. Gemar menyantap cemilan yang gurih-gurih.
Lain lagi Rizky, anak sulungnya. Sepertinya dia asyik bergelut dengan dunianya sendiri. Hobinya mengumpulkan poster mobil balap. Komputer di kamarnya juga penuh dengan gambar-gambar mobil supercepat itu. Makanya, setiap kali ke luar negeri, Sony selalu menyempatkan diri memborong majalah-majalah otomotif untuk putra kesayangannya itu. Dan, anehnya, untuk anak seusianya, Rizky sama sekali tidak tertarik main PS. Dia justru menemukan keasyikan membongkar pasang komputernya. Merakit-rakit sendiri. Tambah hardware ini. Tambah itu. Hingga pernah suatu kali CPU-nya jebol. Terlalu banyak hardware dan pheripheral yang dicangkokkan. Kipas pendingin tak mampu lagi mengusir udara panas dari dalam kotak kaleng tersebut.
Sungguh beruntung anak-anak sekarang. Sony baru mengenal komputer kira-kira di akhir tahun delapan puluhan. Masih pakai disket lebar yang mungkin sudah punah kini. Memory hanya delapan mega. Paling tinggi enam belas mega. Kapasitas harddisk yang terbesar cuma lima ratus empat puluh mega. Game yang paling populer adalah digger.
Dulu, ketika masih seusia Rizky, satu-satunya hiburan Sony adalah buku-buku cerita dan bacaan apa saja. Semenjak kelas lima SD, dia dipercaya oleh gurunya memegang kunci lemari perpustakaan. Mungkin Pak Wakijan bosan karena hampir setiap hari Sony meminjam kunci untuk menukar buku cerita yang sudah selesai dibacanya. Hingga lulus SD, buku-buku cerita selemari penuh habis diganyangnya. Belum lagi bacaan di rumah. Karena keluarganya memang gemar membaca, terutama ibunya. Sony masih ingat, di rumahnya dulu berlangganan beberapa majalah dan koran.
Semasa TK, Sony sangat dimanjakan oleh ayahnya. Ke mana-mana selalu digendong di pundak. Minta apa saja tak pernah ditolak. Kalau tidak dikeloni bapaknya, tidurnya tak pernah nyenyak. Mandi juga bapaknya yang harus bergerak. Memakaikan baju juga bapak. Pendeknya, anak bapak. Menangis pun tak pernah memanggil-manggil ibunya. “Wawa’i … Wawa’i … Wawa’i ….” Tangisan seperti itulah yang dinyanyikan Sony apabila dijahili kakaknya atau sedang dimarahi oleh ibunya. Dia merengek-rengek memanggil bapaknya. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, yang selalu memanggil-manggil ibunya bila sedang menangis.
Sony sepenuhnya sadar, tidaklah baik memanjakan anak. Bukan hanya dalam hal perlakuan, tetapi juga benda-benda kesukaan yang sering mereka tuntut untuk dibelikan. Sesekali dia tolak permintaan anaknya apabila barang yang mereka inginkan dianggapnya tidak terlalu penting. Namun, dia melihat banyak juga orangtua yang sangat memanjakan dan overproteksi kepada anak. Sony percaya, kebiasaan seperti ini menjadikan anak kurang mandiri. Mereka jadi manja. Sedikit-sedikit minta tolong. Maunya ketemu yang enak-enak melulu. Ingin apa-apa main suruh. Tak mau susah. Sehingga apabila suatu saat nanti harus ketemu dengan kenyataan hidup yang pahit, mereka tidak siap menghadapinya, bahkan cenderung lari menghindar, karena sejak kecil selalu dilindungi secara berlebihan. Tentu, tak seorang pun yang ingin menciptakan generasi manja seperti ini.
Namun, tidak semua anak beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari orangtuanya. Apalagi dimanjakan oleh bapak-ibunya. Banyak juga anak yang tak pernah mengenal orangtua kandungnya. Tidak pula merasakan kasih sayang mereka. Semenjak bayi sudah dijual dengan alasan ekonomi. Sebagian lagi melego murah bayinya akibat hamil tanpa suami. Masih untung bila dijual kepada keluarga yang sudah lama merindukan kehadiran bayi. Karena banyak juga orok yang dikirim ke luar negeri. Berakhir tragis di meja operasi. Organ-organ dalamnya dipereteli. Untuk kepentingan transplantasi. Agar anak-anak di negara-negara kaya sehat kembali. Sehingga orangtuanya kembali tersenyum dengan wajah berseri-seri.
Lebih menyedihkan lagi, belakangan ini tindak kekerasan terhadap anak terjadi hampir setiap hari. Kasus Arie Hanggara yang sempat bikin geger Indonesia di era delapan puluhan, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan keadaan yang berlaku sekarang. Berita-berita mengenai tindak kekerasan terhadap anak yang ramai menghiasi layar kaca hanyalah sebuah puncak gunung es. Tekanan ekonomi menjadikan orang gelap mata. Tak hanya orangtua tiri atau orangtua angkat, orangtua kandung pun ikut-ikutan menyiksa anaknya. Rasa-rasanya, OST filem Ratapan Anak Tiri yang pernah menguras habis air mata penonton Indonesia pada tahun tujuh puluhan itu sudah waktunya direvisi liriknya. Karena dibesarkan sendiri oleh orangtua kandung tak lagi menjadi jaminan seorang anak akan bebas dari siksa.
Meski perlindungan anak sudah diatur oleh Undang-Undang, dan sudah pula dibentuk Komnas Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak masih sering terjadi. Modusnya tak banyak berubah. Dipukul tanpa alasan, dikurung di kamar mandi, tidak dikasih makan, disundut dengan api rokok, dan sejenisnya. Pelakunya itu-itu juga. Bahkan sekarang berkembang menjangkiti orangtua sedarah. Korban terus berjatuhan. Mulai dari yang tinggal tulang berbalut kulit, luka dan memar di sekujur tubuh, hingga yang mati dan dikubur di bawah lemari. Liputan media hanya mampu membangkitkan rasa iba dan simpati. Efek jerah tidak bekerja maksimal. Karena para pelaku tidak diganjar dengan hukuman setimpal. Mereka sekedar dianggap sebagai kriminal.
Tak hanya manusia, hewan juga ikut-ikutan melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Seorang gadis kecil menjerit-jerit kesakitan karena wajahnya dicakar monyet jinak. Untung ada orang lewat. Ditendangnya monyet itu sekeras-kerasnya hingga mencelat. Sepertinya monyet itu sangat kesakitan. Langsung ngibrit memanjat pohon rambutan. Gadis mungil bernama Chusnul Chotimah itu berhasil diselamatkan. Penduduk segera berkerumun seperti orang-orang yang sedang arisan. Segera distop seorang pengendara motor yang lewat. Dipangku bapaknya, Chusnul dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat. Untung lukanya tak terlalu berat. Hanya beberapa goresan kuku tajam di pipi dan keningnya. Tak ada bekas gigitan di badannya.
Beberapa orang melempari monyet bengal itu dengan batu. Semakin ketakutan, monyet tersebut naik ke puncak pohon dengan tatapan mata kaku. Dua orang polisi yang berboncengan motor kebetulan lewat, dan langsung berhenti melihat keramaian itu. Kedua polisi tersebut mencoba meredakan amarah penduduk yang bergerombol di sana. Mereka menurut, tapi menuntut monyet sialan itu ditangkap, agar tidak jatuh korban lagi nantinya.
Polisi yang masih muda-muda itu kebingungan dibuatnya. Tidak mungkin menembak munyuk nakal itu. Mereka tak bawa pestol. Lantas, bagaimana mungkin menangkap monyet yang nongkrong ketakutan di pucuk pohon yang tinggi? Lagian, sesuai prosedur, pelaku kejahatan yang sudah menyerah tak boleh disakiti. Tapi beberapa anak muda menghampiri mereka. Memberikan sebuah saran sambil ketawa-ketawa. Anehnya, ide gila tersebut langsung disetujui semua orang.
Rupanya, monyet ugal-ugalan ini gemar menenggak bir. Awalnya tidak sengaja, mungkin juga iseng tanpa dipikir. Singgir, nama monyet peliharaan Pak Hadiri itu, memang sering dibiarkan berkeliaran bebas. Di dalam kemerdekaan tanpa tanggung jawab itu, Singgir suka mengais sisa-sisa bir dari botol-botol yang dibiarkan berserakan oleh pemuda-pemuda pengangguran yang pada teler. Monyet berandalan tersebut kayaknya sangat menikmati minuman beralkohol yang memabukkan itu, dan kadang-kadang ikut teler bersama mereka. Pernah sekali Singgir diberi sebotol besar bir yang masih utuh. Baru dibuka tutupnya, bukan sisa. Gila. Satu botol ditenggak habis. Singgir sempoyongan. Kemudian rebahan di perut Sigit yang sudah terkapar duluan.
Dari sinilah ide itu muncul. Segera dibeli sebotol bir sebagai umpan buat si gundul. Begitu tutup botol dibuka, Singgir langsung bereaksi. Pada awalnya kelihatan ragu sekali. Mungkin masih takut-takut, karena ada banyak orang di sana. Namun aroma cairan memabukkan itu begitu menggoda. Hasratnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dengan langkah ringan khas monyet, Singgir turun dari pohon tanpa perlu tali. Dia abaikan kerumunan manusia di sekitarnya. Diraihnya botol yang penuh minuman berbusa. Diangkat dengan kedua tangannya yang kecil dan kemudian ditenggak habis dalam sekejap. Tak berapa lama reaksi itu mulai menyergap. Singgir langsung rebahan, tengkurap. Teler. Polisi dengan mudah menangkapnya. Kemudian memborgol tangan kecilnya dengan borgol mini yang biasa digunakan untuk memborgol penjahat pada kedua ibu jari.
Sony salut dengan tindakan tegas polisi. Jangankan manusia, hewan yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak pun akan diuber hingga ke pucuk pohon yang tinggi. Ini penting, agar menjadi peringatan yang tegas bagi hewan-hewan lainnya. Jangan coba-coba. Kalau tak mau celaka. Singgir kemudian dibawa ke Kantor Polisi untuk diinterogasi. Sudah disiapkan pasal-pasal tuduhan terhadap monyet ini.
Tapi masalahnya tak berhenti di sini. Pak Hadiri yang baru pulang dari pasar diberitahu bahwa Singgir ditangkap polisi. Dengan menumpang ojek, dia bergegas pergi ke Kantor Polisi. Pria berjambul itu murka besar. Menuduh polisi telah berlaku kasar. Menyakiti anak angkat kesayangannya yang berkandang di balik pagar.
“Saya akan tuntut Kapolres. Ini namanya penculikan.”
Penculikan? Benar. Penculikan anak kian menjadi-jadi. Ini kejahatan yang luar biasa keji. Manusia-manusia pengecut melakukan teror berganda. Beraninya cuma ngumpet sambil mengancam orang-orang tak berdaya. Menuntut tebusanan bagi kebebasan sandera. Bukan hanya membahayakan jiwa anak, orangtua pun menjadi korban teror perasaan dan pikiran. Ditambah lagi dengan trauma psikologis pasca-penculikan, sesungguhnya mereka melakukan kejahatan yang berkelipatan. Karena itu, pelaku penculikan pantas diganjar dengan hukuman mati. Biar mereka tahu diri.
Anak terlambat pulang sekolah saja, orangtua kebingungan setengah mati. Apalagi kalau sampai harus terpisah dalam hitungan hari. Seraya menunggu kabar yang serba tidak pasti. Sony tak mampu membayangkan bagaimana orangtua korban penculikan dilanda kegalauan hati. Bukan hanya stres, mereka pasti sangat tersiksa membayangkan anaknya berada di tangan penculik tak berbudi. Apa sudah dikasih makan? Apakah sakit atau sehat? Apakah tidak dianiaya? Apa diperlakukan dengan baik? Orang akan lebih tabah menghadapi kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal daripada membayangkan, apalagi menyaksikan, anaknya tersiksa. Tego patine, gak tego larane.
Polisi terlalu lunak dalam menangani pelaku kejahatan keji ini. Begitu tertangkap, mestinya tak perlu langsung dibawa ke Kantor Polisi. Harus diberi pelajaran biar mengerti. Tembak saja di bagian kaki. Beri hadiah bogem mentah di dahi. Kalau perlu dipaksa makan tahi. Atau, disuruh minum kencingnya sendiri. Agar menjadi pesan yang jelas bagi siapa saja yang coba-coba melakukan kejahatan seperti ini. Tak masalah pula bila ditembak mati. Masyarakat tak akan protes sama sekali. Bilang saja, ketika akan ditangkap, mereka melawan aparat. Mencoba lari sambil melompat-lompat. Mau ditembak kakinya ternyata kena jidat. Dor dinak mate’ disa, kata orang Madura. Dor di sini yang mati di sana.
Wahai … para pengacara, jangan sekali-kali membela penjahat jenis ini. Percuma, buang-buang energi. Mereka tak punya uang barang selembar. Karena tertangkap, tebusan tak terbayar. Biar saja bengong sendiri di balik jeruji kamar. Karena sudah bikin malu keluarga dan pacar. Besok pagi mereka akan dicecar. Dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang mengakar. Kalaupun mereka tetap harus didampingi pembela, carikan saja pengacara yang paling blo’on se-Indonesia. Dan pilih hakim yang paling galak sedunia.
Pak Jaksa …, tuntut mereka dengan tuduhan berlapis. Sehingga tak mampu lagi menepis. Sekalipun memohon belas dengan menangis. Hukuman mati tetap harus ditulis. Protes dari mana saja tak perlu digubris.
Di bawah siraman hujan gerimis. Regu tembak itu berbaris. Senapan sudah terisi mimis. Kelima penculik berdiri berjajar membentuk garis. Tanda silang kuning digambar di pelipis. Salah seorang pesakitan ketakutan hingga pipis. Komandan regu tembak cuma menatapnya sambil meringis. Dia memalingkan muka. Kemudian membuang ludah. Raja Algojo sudah siaga. Memberi aba-aba dengan suaranya yang gagah. “Sekali tembak langsung lima,” ujarnya, memberi perintah.
Pak Komandan …, tunggu …! Jangan ditembak dulu. Ganti pelurunya dengan ulat bulu. Biar badan mereka gatal dan garuk-garuk melulu. Maka para penculik itu pun mati secara perlahan dengan sekujur tubuh bengkak-bengkak.
“Kenapa mukamu bengkak?” Bu Purnama terkejut melihat pelipis kiri Tiara lebam dan memar. Sepiring nasi goreng dan susu cokelat di nampan itu pun tumpah memenuhi lantai kamar. Dia sedang membawakan makanan untuk anak semata wayangnya yang sedang di-grounded karena ketahuan pakai narkoba. Ayahnya, Pak Djamin, menemukan bubuk putih di lipatan kertas bernoda. Bungkusan kecil itu terjatuh tanpa sengaja. Dari kantong telpon seluler anaknya yang tergeletak di meja. Dia shock. Marah. Dan langsung mengambil tindakan tegas. Tiara harus dikurung di dalam rumah selama dua minggu. Siapa pun tak boleh ketemu. Sekolah bolos dulu. Ini soal tergolong gawat.
Rupanya Tiara membentur-benturkan jidatnya ke tembok. Karena sudah tidak tahan lagi dikurung di kamar bergembok. Sakau. Atau, pura-pura sakau. Badannya menggigil. Gemetaran karena sudah dua hari tak mau makan maupun ngemil. Mukanya pucat pasi seperti lontong. Tatapan matanya kosong. Punggungnya bersandar di dipan. Kedua kakinya berselonjor begitu saja di lantai papan. Naluri seorang ibu melihat keadaan anaknya seperti itu pasti langsung bangkit. Tak tega rasanya melihat putri kesayangannya terlihat sakit. Dengan panik dan setengah menangis Bu Purnama langsung menelepon suaminya. “Pak, bagaimana ini? Tiara memukul-mukulkan kepalanya ke dinding. Bisa mati anak kita.”
Tetangga depan rumah Sony itu bergegas pulang dari kantornya. Was-was juga hatinya. Tapi Pak Djamin tetap pada keputusannya. Tiara harus tetap dikurung di kamarnya. Kemarin, Mas Darman, sepupunya yang dokter tentara itu, menyempatkan diri mampir ke rumahnya. Memeriksa Tiara. “Tidak apa-apa. Belum kecanduan. Masih coba-coba. Tindakan Dik Djamin sudah tepat. Kurung saja untuk sementara. Awasi pergaulannya. Jangan sampai kumpul lagi sama teman-temannya yang pengguna. Kalau masih macam-macam, dicambuk saja. Tidak akan mati. Demi kebaikan dia sendiri,” ujar Mas Darman.
Sony setuju belaka. Sesekali anak perlu dikerasin. Dipukul bokongnya. Biar tidak ngelunjak. Para guru sah-sah saja menjewer atau, kalau perlu, menempeleng murid yang kenakalannya sudah keterlaluan. Asal jangan keras-keras, Pak. Ini sama sekali bukan kekerasan dalam dunia pendidikan, seperti yang sering digembar-gemborkan oleh media, sehingga murid-murid bengal semakin mendapatkan angin. Ngawur itu. Itu merupakan upaya menegakkan kedisiplinan untuk menyelamatkan mereka.
Emangnya, kalian, para orangtua, mau anak pulang sekolah digotong orang karena ada belati menancap di punggungnya. Mulut monyong dan gigi rontok akibat dihajar dengan gir dalam ajang tawuran. Nyawa melayang karena perutnya disabet pedang dalam duel keroyokan. Tangan jadi buntung karena menghadang kelewang. Ini soal yang lebih gawat. Yang lebih membutuhkan perhatian kita semua para orangtua, termasuk pemerintah dan media.
Begitu pula dalam soal narkoba. Baik pengguna, pengedar, bandar maupun produsen, semuanya sama-sama kriminal. Hanya saja, derajat kejahatannya beda-beda. Pengguna narkoba tidak perlu ditempatkan sebagai korban. Keenakan mereka. Lha wong dia sudah merasakan “enaknya” surga khayal. Mereka sadar kok, ketika melakukan kebodohan itu, dan, melanggar hukum. Salahnya sendiri. Rasain.
Termasuk Tiara, tetangga depan rumah Soni itu. Dengan cecaran pertanyaan dari kedua orangtuanya, gadis kelas dua SMU yang suka mengajak Salsa main boneka tersebut akhirnya mengaku sudah hampir sebulan jadi pengguna. Pertama dikasih teman nongkrongnya. Selanjutnya beli sendiri, dengan menjual kalung emas hadiah ulang tahun dari ibunya. Asalnya coba-coba. Lama-lama ketagihan pula.
Sony jadi teringat Hamdun, teman SMA-nya dulu. Remaja kerempeng itu dipukuli oleh ayahnya pakai rotan hingga masuk rumah sakit. Gara-garanya, ketahuan mengisap ganja meski hanya sedikit. “Mending saya pukuli sendiri. Daripada digebuki polisi. Mau mati?” kata Pak Rohman, kepada teman-teman sekolah yang sedang membesuk putranya. Sepertinya dia ingin memberi tahu, sekaligus mengancam, teman-teman anaknya. Meski berbicara dengan nada marah, tetap terlihat gurat penyesalan di wajahnya. Tangannya telah lepas kendali. Memukuli anak sulungnya hingga hampir mati. Mondok seminggu di rumah sakit Bhayangkari.
Tiara kembali ceria. Sudah tak mau lagi pakai narkoba. Dikasih gratisan dia tolak mentah-mentah. Dengan marah-marah. Malahan, dia maki habis Henny. Karena mencoba mengajaknya kembali melayang ke alam khayal yang tak bertepi. “Bubuk setan. Bikin aku bertingkah seperti hewan. Begitu bodohnya menggadaikan masa depan. Biar disangka jagoan. Padahal cuma jadi pecundang. Tangan digadang-gadang. Diseret masuk ke dalam kandang.” Mau?
“Mau. Mau sekali, Pa.”
Rizky tampak kegirangan. Sony memberikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai hadiah bagi anaknya yang baru saja dikhitan. Bukan barang atau uang. Kebiasaan bagus ini mulai disosialisasikan secara luas semenjak awal tahun dua ribu oleh Yayasan Kado Anak Muslim, disingkat Yakamus. Sony pernah menghadiri acara peringatan milad yayasan itu di Hotel Indonesia. Didirikan dan sekaligus dimotori oleh Pak Achmad Subianto, mantan Direktur Utama PT TASPEN yang juga Ketua Baznas itu, organisasi nirlaba tersebut mengajak para orangtua untuk membekali anak-anak mereka yang sudah memasuki masa inisiasi kedewasaan dengan dua tuntunan utama bagi umat muslim, Al-Qur’an dan Hadits. Persis sama seperti yang dilakukan umat nasrani. Kepada remaja-remaja yang dibaptis diberikan Kitab Injil sebagai bekal mereka mengarungi kehidupan.
Sebagai orangtua, Sony merasa sangat risau dan khawatir melihat begitu bebasnya pergaulan para remaja di kota metropolitan Jakarta. Dia tak ingin anak-anaknya terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Dia sangat menyayangi Rizky dan Salsa, kedua buah hatinya itu. Begitu besar harapan yang dia gantungkan kepada mereka. “Rizky, Salsa,” demikian yang selalu dia mohonkan dalam setiap doanya, “Papa dan Mama ingin kalian menjadi orang yang baik bila sudah besar nanti.”

3. Pacar

“Tangkaplah aku. Dan penjarakan aku dalam hatimu,” kata penyair. Semua orang pasti sepakat, cinta adalah sesuatu yang menyihir. Mengubah wajah dunia. Memicu perang antarbangsa. Menggabungkan dua negara. Mempersatukan anak manusia. Dalam gelora asmara. Dan gairah menyala-nyala. Tapi cinta punya mata. Dan ia sama sekali tak buta. Hanya saja, memang luar biasa. Karena, love is a many splendoured thing. Meski tak harus saling memiliki, tambah Ebiet G. Ade, dengan iringan dawai gitar yang berdenting. Pokoknya susah diperikan. Bahagia. Senang. Gembira. Cemburu. Sedih. Marah. Susah tidur. Tak enak makan. Senyum-senyum sendiri. Patah hati. Bunuh diri. Jangan.
“Mana sikat cuci. Masukkan saja. Biar bersih sekalian,” Dokter Budi berteriak dengan suara yang dikeras-keraskan, sambil ketawa-tawa. Namun demikian, dokter yang ganteng lagi ramah itu tetap tidak kehilangan keseriusannya. Dibantu dua orang suster berseragam putih-putih, dia segera memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang terus meronta.
Sony bertanya-tanya. Tak mengerti maksud ucapan dokter yang bernada canda. Ketika itu, bersama dua orang teman kosnya, Sony membawa Hengky ke rumah sakit. Kejang-kejang karena minum segelas air dicampur deterjen, ditambah gula sedikit. Ini bukan kali pertama. Empat bulan sebelumnya dia melakukan hal yang sama. Dokter Budi pula yang menolongnya.
Pacarnya minta putus. Hengky stres, serasa mau mampus. Asanya sudah pupus. Seperti orang linglung. Dua hari di kamar hanya berkurung. Anak mama ini akhirnya mengambil jalan pintas. Cuma akal-akalan agar mendapat perhatian dari pacarnya yang menyusul dengan langkah bergegas. Seperti anak kecil yang menangis berguling-guling, melakukan segala cara. Mencoba mempertahankan mainan yang hendak direnggut darinya. Sony tahu itu, dan maklum adanya. Tapi tak mungkin membiarkan teman kos mati dengan lambung yang putih bersih.
Sony sebenarnya tidak habis pikir. Apa sih, yang kurang? Hengky cowok yang moncer. Duitnya bercecer-cecer. Otaknya tergolong encer. Badannya terbilang tokcer. Kesukaannya makan ceker. Dengan nasi panas berteman sayur genjer. Ditambah ikan mujaer. Ditemani sepuluh cabe rawit yang berjejer. Minumnya seember. Sehingga dia sering boker.
Hengky … Hengky …. Apa lagi yang kurang sip? Pergi pulang ke kampus pakai mobil jip. Zaman segitu, mahasiswa yang bermobil bisa dihitung dengan jari. Pendeknya, hidup bagaikan gulali. Dengan segala limpahan kasih sayang yang dicurahkan kedua orangtuanya. Mereka bahkan cenderung memanjakannya. Sebulan sekali datang menyambangi anaknya. Membawa makanan dan kue kenari. Tak habis diganyang semua anak kos dalam tiga hari.
Banyak cewek naksir Hengky. Mengejarnya kesana-kemari. Tapi Hengky malah sembunyi dan lari. Menolak mentah-mentah rezeki yang datang menghampiri. Dia bilang cintanya hanya untuk seorang, Indira. Meski bukan pacar pertama, dan bukan pula cinta pertama, Indira segala-galanya baginya. Padahal, setahu Sony, Indira bukalah tipe cewek impian. Kulitnya agak legam, tapi wajahnya memang manis seperti mut-mutan. Orang bilang sifatnya keibuan. Ramah dan penuh perhatian. Apa gerangan, yang membuat Hengky begitu tergila-gila kepada Indira? Itulah cinta. Tak perlu harus begini, harus begitu. Kalau sudah cinta, ya suka begitu saja.
Namanya juga cinta. Kalau perlu tetangga sendiri dipacari. Nggopek we, tonggo dipek dewe. Itulah cinta monyet Sony, yang mulai kenal pacaran semenjak SMP kelas dua. Sebelumnya, sewaktu kelas satu, dia naksir berat sama Renata. Teman sekelasnya. Pada saat jam pelajaran Sony sering mencuri-curi pandang ke arahnya. Mata berbalas mata. Gadis yang suka menyematkan pita di rambutnya itu juga suka melirik-lirik dirinya. Sony mengiriminya surat cinta. Ditulis di secarik kertas kecil berwarna merah muda. Mengungkapkan perasaannya. Cinta berjawab, tapi berupa tanda tanya. Sony salah sangka. Ternyata selama ini dara cantik berkulit pualam itu melirik ke arah Wildan, teman sebangkunya. Meski malu karena ke-GR-an, Sony tak putus asa. Dia mulai menebar pandangan untuk menembak sasaran berikutnya.
Dapat juga. Nana. Teman sekolah sekaligus tetangga. Sekelas lagi, di IIA. Tempat tinggal mereka hanya berselang beberapa rumah. Kisah asmara bawang itu bermula di perpustakaan sekolah. Setiap jam istirahat, Sony selalu melihat gadis pendiam itu mojok membaca majalah. Sekali dua kali dia mengabaikannya. Kadang menyapanya. Toh, mereka sudah saling kenal sejak SD kelas tiga. Nana, murid baru ketika itu, pindahan dari Surabaya.
Kini, mereka sudah menginjak remaja. Sama-sama sedang mencari cinta. Karena sering bertemu, lama-lama tumbuh rasa tertarik di hati Sony terhadapnya. Tresno jalaran soko kulino. Ternyata Nana orang yang enak diajak bicara. Dia suka memasak. Sama seperti Sony. Dan, lebih gila lagi, Nana berterus terang kepadanya, bahwa dia sudah naksir Sony sejak SD kelas lima.
Mereka pun pacaran. Belajar bersama. Masak bareng. Kadang di rumah Nana, dan sering pula di rumah Sony. Nana juga pernah menjadikan Sony kelinci percobaan potong rambut. Hasilnya kacau. Sehingga harus pergi ke tukang cukur untuk merapikannya. Melihat sepasang kekasih belia itu sering pergi ke mana-mana barengan, para tetangga pada meledek, “Nggopek we, tonggo dipek dewe.”
Sebenarnya Sony malu diledek seperti itu, tapi dia berusaha mengabaikan mereka. Pernah sekali Nana mencium pipinya. Tapi Sony tidak merasakan apa-apa. Biasa-biasa saja. Jantungnya tidak berdebar-debar. Demikian pula, pada waktu semua murid di sekolahnya digiring ke gedung bioskop untuk menonton filem Giok yang dibintangi Rano Karno. Rupanya filem yang berkisah tentang percintaan antar-etnis itu cukup mempengaruhi Nana yang duduk di sampingnya. Nana menempelkan kepalanya ke lengannya. Heran, Sony juga tidak merasakan apa-apa.
Nana punya seorang sahabat. Larasati namanya. Cantik bagaikan bidadari. Rambutnya panjang tergerai. Bila menoleh, rambutnya yang lurus juga ikut menoleh. Indah sekali. Sony selalu terbayang-bayang wajah Larasati. Siang dan malam. Tapi dia berusaha menutupi perasaannya itu. Meski mereka sering pergi bertiga. Takut Nana cemburu. Dan, Larasati pasti juga tidak mau didekati oleh pacar sahabatnya.
Seperti Raja Minyak saja, ke mana-mana Sony diapit dua dara yang cantik-cantik. Agar sama-sama enak, dalam khayalnya Sony sering membayangkan terlibat cinta segitiga yang tidak sama kaki. Karena dia lebih condong ke Larasati. Meski tak mungkin menyatakan cintanya, Sony senang karena sering berada di dekat gadis impiannya.
Cinta monyet itu menguap begitu saja setelah mereka lulus SMP. Sony masuk SMA II. Nana diterima di SMA I. Sedangkan Larasati, seperti halnya bapak-ibunya, dan juga semua kakaknya, masuk SPG.
Setiap pulang kampung Sony selalu menyempatkan diri mampir ke rumah Nana. Anaknya tiga. Perempuan semua. Suaminya terlihat agak cemburu. Tapi Sony pura-pura tidak tahu. Toh, tak ada sedikitpun niatan untuk membawa lari istrinya. Hanya bernostalgia. Sambil tertawa-tawa. Nana memberi tahu Sony bahwa Larasati, yang sekarang sudah berubah menjadi ibu-ibu gendut, tinggal di Banyuwangi. Mengikuti suaminya yang bekerja di sana.
“Bagaimana rambutnya?” tanya Sony.
“Dipotong pendek,” sahut Nana.
Sony kecewa.
Tak terhitung tembang yang dilantunkan untuk merayakan cinta, juga meratapi cinta. Ditulis buku dengan beratus-ratus halaman. Filem berdurasi hingga empat jam. Puisi sependek kuku. Lukisan yang mengharu biru. Karangan bunga. Sebatang cokelat. Dan permen warna-warni.
Cinta adalah segalanya. Cinta adalah darah yang mengalir deras. Mengisi relung-relung jiwa. Menjadikan hidup bermakna. Karena dikasihi, dan mengasihi. Manusia tanpa cinta, tak ubahnya seperti roti tawar tanpa mentega. Hambar. The power of love telah menegakkan Taj Mahal dan Candi Sewu. Anthony dan Cleopatra urung berperang karena saling jatuh cinta. Romeo dan Yuliet menyatu di dalam kubur membawa cinta abadi mereka.
“Cinta adalah kenangan. Rasanya tak mudah dilupakan.” Malyda menyanyikan lagu ciptaan Deddy Dhukun itu dengan penuh penghayatan. Membawa pendengarnya larut dalam khayalan. Karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu menghapuskan kenangan indahnya cinta. Apalagi cinta pertama. First love will never die. Bikin orang mabuk kepayang. Dalam sekejap rasa lapar hilang. Seperti habis makan sepuluh tusuk sate kambing setengah matang. Mimpin indah selalu datang. Bila malam menjelang. Wajahnya selalu terbayang. Kedua mata tak mau menutup hingga terpaksa begadang. Pikiran melayang-layang. Siang hari bikin ancang-ancang. Sabtu malam wajib jalan-jalan, meski harus ngutang. Berangkat petang. Menjelang tengah malam baru pulang. Berjalan sambil melamun hingga terperosok ke dalam lobang. Kepala langsung berkunang-kunang.
Cinta. Pacar. Cinta. Pacar. Cinta. Pacar. Sudah hampir dua jam Bethany berdiri di depan kaca. Mematut diri membetulkan letak kacamata. Seseorang yang sangat istimewa berjanji akan datang ke rumah kosnya. Setelah sekian lama dia impi-impikan kehadirannya. Malam ini harus tampil habis-habisan. Tak boleh pas-pasan. Harus kelihatan cantik dan menawan. Menjelma menjadi bidadari nan rupawan. Melangkah dengan diiringi gumpalan-gumpalan awan. Menyambut pangeran yang akan bertandang. Karena tadi siang, seorang teman memberikan secarik kertas yang terlipat rapi kepadanya. “Dari Sony,” kata Candra. Bethany tak langsung membukanya. Dia masukkan surat itu ke dalam tas, dan bergegas pulang. Dengan motor bebek Suzuki.
Hatinya berbunga-bunga membaca surat Sony. Serasa tak percaya memandangi selembar kertas yang ada di tangannya. Meski tulisan yang menempel di sobekan buku itu cakar ayam dan agak susah dibaca, baginya tak ubahnya selarik puisi cinta yang ditulis dengan tinta emas. Dengan titik dan koma terbuat dari platina. Di matanya, huruf-huruf itu seperti serumpun bunga mawar merah muda di atas kanvas. Membentuk kalimat-kalimat indah yang membuat persendian kakinya terasa mau lepas. Apalagi di dalam surat tersebut Sony bilang kalau dia suka sekali dengan rambutnya yang panjang dikepang dua. Melayang-layang rasanya, dipuji seperti itu. Seperti terbang ke atas awan. Dia pegang erat surat itu. Ditempelkannya ke dada. Diciuminya. Kemudian disimpan di bawah bantal.
Sony yang selama ini dikenalnya pendiam ternyata menaruh perhatian kepadanya, dan berani berkirim surat pula. Sudah lama sebenarnya dia memperhatikan cowok berbadan tegap yang tak pernah lepas dari rokoknya itu. Mencuri-curi pandang dari balik sapu tangan. Sesekali mereka saling berpapasan. Keduanya tak berani beradu tatapan. Dia demen banget dengan cowok pemalu itu. Tapi tak berani mendekat maju. Walaupun dorongan yang menggebu-nggebu di dadanya terus mengganggu. Dia lebih memilih menunggu. Takut bertepuk sebelah tangan. Soalnya Sony suka pergi begitu saja kalau disamperin cewek.
Kini Sony telah berada di hadapannya. Gagah sekali. Dalam balutan baju kotak-kotak dan celana biru. Eh, lupa. Baju biru, celana kotak-kotak? Sudahlah, tak penting itu.
“Halo, Son,” sapa putri Solo itu dengan manja.
Sony tak menjawab. Diam saja. Hanya tersenyum. Ya Tuhan. Senyum itu. Seperti menembus dadanya. Menyebar ke seluruh pembuluh darah, kemudian menggumpal di ubun-ubunnya. Kacamatanya hampir jatuh. Lidahnya keluh. Tapi Bethany segera menguasai diri, karena semenjak sore tadi sudah dibekali dengan tips menghadapi kencan pertama oleh kakak perempuannya. Berhasil. Dia tak kikuk lagi.
Bahagia sekali rasanya bisa mengobrol dan duduk bareng bersama cowok pujaannya. Sampai lupa makan. Dia baru tersadar kalau belum kemasukan apa-apa sedari siang. Setelah perutnya bernyanyi riang. Pada saat Sony pamit pulang.
Selanjutnya hari-hari Bethany lebih banyak dihabiskan di depan cermin. Membubuhkan bedak ke pipi. Membajak bulu mata. Mengukir alis. Melukis bibir dengan lipstik. Dan merapikan rambutnya yang panjang dikepang dua. Rambut pembawa keberuntungan, pikirnya.
Dia teringat peristiwa belasan tahun lalu, ketika masih SD kelas tiga. Bethany mengalahkan Denok secara telak dalam merebut perhatian Purnomo, teman sekelas sekaligus tetangga mereka yang sama-sama tinggal di perumahan pabrik gula. Purnomo yang berkaca mata minus tiga dan berwajah imut itu suka sekali memegang-megang kuncir rambut Bethany. Bahkan mereka sempat menikah. Denok memberinya kado serutan pensil. Farida membawa kembang sepatu. Peni menyiapkan kue tart yang terbuat dari gabus. Sedangkan Eko berlagak jadi jurufoto. Dengan jemari yang disilangkan di depan wajah, Eko berjalan mundur sambil menirukan bunyi kilatan lampu blitz. “Plas.”
Bethany tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum sendiri. Senang rasanya kembali berenang ke masa kecil. Masa-masa yang indah. Penuh canda tawa. Kenangan yang tak akan pernah terlupa. Meski cinta monyet itu harus berakhir duka. Karena empat bulan kemudian Purnomo ngotot menceraikannya. Dia ingin menikahi Farida.
Kini cinta kembali menghampirinya. Setelah vakum sekian lama. Derita sudah berakhir baginya. Tak akan ada lagi malam Minggu yang sepi seperti masa-masa SMP dan SMA yang terlewatkan begitu saja. Tanpa ada cowok yang mengelus-elus rambutnya yang dikepang dua. Selamat tinggal kesendirian dan nestapa. Terima kasih cinta.
Ya ampun. Hampir lupa. Ini malam Minggu. Mereka janjian akan pergi ke bioskop. Ada filem bagus, Witness, dibintangi Harrison Ford. Sebetulnya bukan filemnya yang ingin dia tonton. Memeluk erat lengan pacarnya itu sambil duduk di kegelapan memberinya perasaan bahagia. Seolah dunia berhenti berputar. Jantungnya berdebar-debar. Tapi tahi cicak yang jatuh tepat di keningnya membuat lamunannya buyar. Kentir, pikirnya.
Sambil menunggu Sony datang, Bethany tetap tak beranjak dari depan kaca. Dia periksa sekali lagi detil-detil riasan di wajahnya. Cermin itu seolah seorang konsultan kecantikan yang terus memberinya aba-aba. Bagian-bagian mana saja yang harus diusap ulang dengan bedak agar merata. Beautician gepeng tersebut tak pernah lelah mengomentari penampilannya. Sudah sempurna. Perfect.
Sesungguhnya, untuk siapa kita mematut diri di depan cermin? Berdandan? Bersolek mempercantik diri. Berjam-jam memandangi wajah dengan tangan menari-nari. Putar kanan putar kiri. Endus sana endus sini. Memastikan semuanya sudah wangi. Tak ada lagi bau kecut, karena parfum Bvlgari sudah menyembur ketek tiga kali. Buat apa? Untuk siapa?
“Biar cakep, sehingga cowok-cowok pada ngerubutin kita,” jawab Sasa dengan nada centil sambil melambaikan tangannya. Pinggulnya selalu berombak bila sedang berjalan.
“Biar cewek-cewek pada hanyut mencium aroma jantan dari tubuh kita,” sahut Tommy yang bertubuh atletis itu dengan penuh percaya diri.
Bahkan, sebuah iklan parfum berani sesumbar, “Bikin cewek jadi gokil.”
Benarkah manusia tampil gaya untuk orang lain? Sony malah berpikir sebaliknya. Untuk diri sendiri. Mau bukti? Perhatikan Somad, maling kambing yang belum pernah tertangkap itu. Setiap kali mau beraksi, dia selalu menyempatkan diri bercermin di depan kaca di rumahnya yang pengap. Padahal tak sedikit pun dia berencana ketemu orang, kecuali kalau ingin tertangkap. Rambutnya tetap disisir rapi. Pengharum ketek menghembuskan nafasnya lima kali. Tusuk gigi menggali-nggali. Dan kumisnya rapi jali. Belum pernah sekalipun tetangga Sony di kampung halaman itu pergi beroperasi dengan rambut awut-awutan, apalagi tanpa mandi.
Maling kambing juga pacaran. Demikian pula penjual petasan. Karena cinta akan menghampiri setiap insan. Tak peduli miskin atau kaya. Tak pandang muda atau tua. Puber pertama maupun puber kedua. Pria atau wanita. Bahkan gay dan lesbian.
Mereka memiliki hak yang sama. Untuk menerima cinta dan mempersembahkan cinta. Untuk mencintai dan dicintai. Untuk merasakan cinta. Untuk memahami makna cinta. Untuk menikmati indahnya cinta. Untuk berpacaran. Sebab cinta yang paling membahagiakan adalah pada saat pacaran. Setelah menikah, kata orang, api cinta akan meredup secara pelahan. Karena cinta harus dibagi dengan anak dan keluarga. Maka dari itu, puas-puasin pacaran.
Tapi banyak orangtua merasa sangat cemas dengan gaya berpacaran remaja masa kini. Tak ada lagi desiran darah yang begitu hebat ketika melewati pagar depan rumah. Tak ada lagi pegangan tangan sambil malu-malu. Curi-curi pandang dari balik pintu. “Kuno,” kata anak-anak sekarang.
Generasi masa kini sudah membuat aturannya sendiri. Pulang dari diskotek dini hari. Ngomongnya ngelantur mukanya pucat pasi. Berjalan bersama berdekap-dekapan. Tangan saling melingkar sambil cubit-cubitan. Cium pipi kanan cium pipi kiri. Senggol sana senggol sini. Selayaknya pasangan suami-istri. Berlibur ke Bali berduaan. Melancong ke luar negeri tanpa pamitan. Kalau ditegur minggat dari rumah. Pulang-pulang sudah berbadan dua.
Memang tak mungkin melarang anak pacaran. Lagian, para orangtua juga tak ingin anak-anak mereka di kemudian hari disensus oleh petugas IPTEK, ikatan perawan/perjaka telat kawin. Merana dan hidup melajang sampai tua, tanpa kehadiran cinta.
Tapi, jangan begitu dong, kalau pacaran. Semua serba kelewatan. Sudah sangat keterlaluan. Seperti tak punya aturan. Di depan orangtua tak sungkan lagi berpeluk-pelukan. Di depan umum malah asyik berciuman. Pulang pagi jadi kebiasaan. Menginap di puncak jadi kegiatan mingguan. Belum menikah sudah saling panggil Mami Papi. Tinggal serumah Kumpul Sapi.
Para orangtua cemas dan hanya bisa garuk-garuk kepala. Dilarang pacaran ya tidak mungkin. Dibiarkan pacaran bikin kepala nyut-nyutan. “Pusing saya, mikirin Virga,” keluh Pak Rahman.
Putrinya yang masih ABG itu sudah punya pacar. Anak punk yang suka nongkrong di seberang pasar. Dinasehati berkali-kali tak mau dengar. Dikurung di kamar, kabur lewat genteng tetangga. Lebih puyeng lagi, dandanan Virga berubah total. Hidungnya ditindik. Lehernya ditato. Rambutnya dicat warna-warni. Persis seperti anak ayam yang disumba merah, kuning, hijau, ungu, oranye, yang dijual abang-abang di depan pagar sekolah dasar.
Pernah sekali dia marah besar. Hampir saja digamitnya sepotong rotan untuk mencambuki putrinya. Untung istrinya segera menghambur dan mendinginkan kepalanya. “Tapi ini sudah kebangetan, Bu. Coba lihat itu anakmu.”
Dandanan Virga memang keterlaluan. Pundaknya yang putih mulus menjual muka. Dadanya hanya dibebat selembar kain berwarna merah muda. Celana tipis superketat menggaris malas di bawah pinggulnya. Kancingnya atasnya dibiarkan terbuka. Sepertinya dia sengaja memamerkan perutnya yang rata dan pusarnya yang indah. Ini salah Bu Bidan. Seandainya dulu tali pusarnya tidak diikat rapi, udelnya pasti bodong. Sehingga dia tak akan berani mempertontonkan perut seenaknya.
Anak punk itu membawa pengaruh buruk pada Virga, pikir Pak Rahman. Harus dihentikan. Tapi Virga malah kabur dari rumah. Beberapa potong pakaian masuk ke dalam tasnya. Duit ibunya dicuri satu juta. Selembar pesan ditinggalkan di meja. Mengungsi, bunyinya.
Tentu saja kedua orangtuanya kelabakan bukan kepalang. Sudah seminggu Virga tidak pulang. Dicari ke mana-mana juga tak ketemu. Seolah diculik hantu. Keluarga panik dan lapor polisi. Semua famili dan temannya dihubungi. Tapi anak itu tetap menghilang seperti ditelan bumi. Hingga pada suatu sore tiba-tiba Virga sudah berada di rumah. Langsung masuk kamar dan menguncinya. Tak berapa lama kemudian dia duduk di beranda, membaca majalah.
“Dari mana kamu?!” hardik Pak Rahman, dengan tangan bergetar menahan amarah.
“Jalan-jalan,” jawabnya enteng.
Wahai … perawan dan perjaka. Jangan bermain-main dengan cinta. Jangan ugal-ugalan dalam berpacaran. Bisa kuwalat nanti. Seperti Rani, yang masih jomblo meski usianya sudah kepala empat. Padahal perempuan itu molek benar. Wajahnya selalu bersinar. Senyumnya mengundang. Tatapan matanya menantang. Bodinya semloheh. Bisnisnya berbelalai. Pergaulannya luas. Hartanya tak terbatas. Tapi belum juga berkeluarga. Penyebabnya, karena dulunya urakan dalam berpacaran.
Konon, semasa kuliah, dia suka gonta-ganti pacar. Pergi satu ngantri sepuluh. Berhasil menggaet cowok idaman memberinya kepuasan tersendiri. Kemenangan yang selalu dirayakan bersama teman-temannya. Targetnya hanya show off. “It’s just an adventure,” katanya. Dalam hitungan minggu atau bulan, pasti ganti cowok lagi. Pasang perangkap dan umpan baru. Wah, Non, jangan begitu.
Namun, ketika akhirnya benar-benar kesengsem sama seorang cowok yang begitu mengena di hatinya, Rani malah berubah seperti gadis kuper yang belum pernah pacaran. Gaya hidupnya berbalik total. Tak pernah lagi hura-hura. Teman-temannya menjauh juga tidak dipusingkannya. Seorang Arjuna telah meluluhkan hatinya. Mengisi kamar-kamar kosong di dadanya. Di sela-sela paru-paru dan jantungnya. Dengan cinta sejati.
Rani telah menemukan cintanya. Setiap kali berada di samping pacarnya yang berkumis tipis dan berpembawaan kalem itu, jantungnya selalu berdebar-debar kencang. Darah berdesir-desir di sekujur tubuhnya. Mau begini takut salah. Mau begitu takut keliru. Perutnya seperti ditekan-tekan. Bolak-balik harus pamit ke belakang.
Pernah pada suatu sore, ketika mereka sedang bercengkerama di beranda depan, pacarnya yang bekerja di sebuah bank pelat merah itu memuji kecantikannya. Bahagia sekali dia. Kakinya serasa tak lagi menginjak tanah. Tapi, tiba-tiba Rani merasakan ingin buang angin dan tidak bisa ditahan lagi. Tak mungkin sempat pamit ke belakang. Lepaskan saja, tapi jangan sampai kedengaran. Geser sedikit itu kursi. Untuk menyamarkan bunyi. Seeng …, sunyi. Syukurlah, tak ada yang bernyanyi. Tapi aroma terasi tak mau segera pergi.
“Kamu kentut, ya?”
Blo’on banget ini cowok. Mestinya kan pura-pura tidak tahu. Biar pacarnya tidak malu. Raut muka Rani memerah sepeti baret Kopasus. Menyesal telah menghidangkan bau kakus. Meskipun segera terlupakan, peristiwa memalukan itu tetap saja membekas sangat dalam di benaknya.
Tapi mereka tak putus cinta hanya karena soal kentut. Malahan, semakin dekat, dan sudah mengambil ancang-ancang untuk menikah. Diputuskan tanggal delapan bulan delapan. Tepat pada pertengahan bulan besar. Pakai adat Jawa campur Makassar. Sudah disiapkan sejumlah mahar. Dan, akan digelar sebuah pesta besar.
“Ran, aku ada kejutan. Kita pergi ke suatu tempat. Tidak jauh, kok. Tapi, matamu harus ditutup, ya? Mau?”
Tanpa berpikir panjang Rani langsung mengiyakan. Namanya juga kejutan. Maka mereka pun berangkat, dan mata Rani ditutup syal coklat bergambar Mickey Mouse yang diikatkan melingkar di kepalanya.
Tak berapa lama kemudian mobil berhenti. Rani dituntun masuk ke dalam sebuah rumah. Suara pintu terbuka, hembusan anginnya terasa. Ini rumah pasti besar, ketahuan dari hempasan pintunya.
“Yang, ini rumah kita berdua. Kita akan tinggal di sini setelah menikah nanti. Coba rasakan, di sini ruang tamunya.”
Sejuk sekali. Baunya menyenangkan. Harum. Pasti telah ditempatkan bunga-bunga segar di sekitar situ. Rani merasa bahagia sekali. Pacarnya sudah menyiapkan sebuah rumah baru untuk mereka tinggali nantinya. Jangan-jangan ini kejutannya, pikirnya.
“Ayo kita naik. Tapi tutup mata jangan dibuka dulu. Nanti saja kalau sudah waktunya.”
Lho? Belum? Jadi, bukan rumah ini kejutannya.
Mereka pun menaiki tangga, menuju lantai dua. Luas sekali ruangan itu. Hening. Tenang. Lega. Lapang.
Aduh, mati aku. Gawat, pikir Rani. Rasa-rasanya dia mau kentut. Bagaimana ini? Hup. Ada akal. “Fan, aku agak kegerahan, nih. Tolong dong ambilkan tisu di mobil.” Sedikit muslihat tak apalah. Jangan sampai ketahuan kalau kentut. Soalnya, sepanjang siang tadi sepiring ubi jalar goreng menemaninya menikmati lagu-lagu melo kesukaannya.
“Tunggu di sini, ya. Aku ambil dulu tisunya.”
Tapak sepatu terdengar menuruni anak tangga, kemudian disusul suara pintu dibuka. Inilah saatnya. Duuuuut …. Tuuuuut …. Suaranya sangat keras. Seperti dentuman knalpot bus patas. Tapi hanya dua kali. Dari luaran sana pasti tak terdengar sama sekali. Dia kibas-kibaskan roknya, agar aroma tak sedap itu segera pergi. Dia cek sekali lagi. Sudut kiri aman. Sudut kanan aman. Barat laut aman. Tenggara aman. Indera penciumannya terus bekerja keras, agar hasilnya akurat. Sudah tak ada lagi baunya. Sudah pergi. Terima kasih, Tuhan.
“Ini tisunya. Maaf ya, agak lamaan. Harus nyari-nyari dulu. Tahunya nyelip di jok belakang.”
Setelah pura-pura mengusap kening dan ujung hidungnya, Rani langsung bertanya, “Apa kejutannya, Fan? Mana?” Sudah tak sabar lagi dia.
“Baiklah, aku buka dulu tutup matanya,” bisik Erfan sambil membuka ikatan syal yang menutup mata Rani. “Coba lihat. Semua keluarga dan kerabat aku telah datang ke sini untuk berkenalan denganmu. Itu Papa, Mama, Opa dan Oma. Ada Terry, adik kesayanganku.”
Astaga! Sekitar dua puluh pasang mata menatapnya dengan senyum ditahan. Mereka semua berdiri mengelilingi ruangan itu. Jadi, pada waktu dia kentut tadi, ada sekian banyak orang yang menontonnya. Mati aku. Tengsin berat.
Kini Erfan sudah menikah dengan orang lain, punya anak tiga. Sedangkan Rani masih sorangan wae. Sesekali mereka saling kontak lewat telepon. Say hello, menanyakan kabar masing-masing. Dalam kejadian yang sangat memalukan itu, Rani menyalahkan Erfan. Sementara Erfan tak pernah paham alasan Rani membatalkan rencana pernikahan tersebut. Keluarga dan kerabat Erfan juga tidak pernah membicarakan hal itu lagi. Mereka memilih tutup mulut. Dibiarkan berlalu begitu saja. Hanya Terry yang tidak bisa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dia membocorkan rahasia ini kepada Sony, agar diterima bekerja di kantornya.
Erfan menikahi orang yang tidak dia cintai. Gaby, istrinya itu, masih kerabat jauh. Ini semua merupakan jerih paya mamanya yang sedih sekali melihat Erfan terus mengurung diri setelah gagal menikah dengan Rani. Perihal Gaby, Bu Shinta sudah menyelidiki gadis itu secara teliti sebelum diputuskan sebagai calon istri yang cocok buat putra sulungnya. Dalam masa penjajagan, selama tiga bulan penuh dara gemuk berambut ikal itu tinggal bersama keluarga Erfan. Bu Shinta merasa sangat lega, karena belum pernah sekalipun Gaby kentut di depannya. Ini calon mantu yang tepat, pikirnya. Mereka berdua memang sangat akrab. Apalagi keduanya sama-sama bulat. Bagaikan balon berjajar dua.
Maka Erfan dan Gaby pun menikah. Erfan tak menolak dan tidak pula mengiyakan ketika ditanya kesediaannya untuk menikahi Gaby. Dia sudah pasrah. Dijalani saja semuanya. Tahu-tahu sudah punya anak tiga. Tapi setiap malam pikirannya berkelana ke mana-mana, berjalan menuruni bukit dengan Rani di pelukannya. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Meski hanya di alam khayal. Setiap hari dia merasakan keasyikan itu. Hingga ketagihan. Raganya tetap berada di rumah, tapi jiwanya absen, pergi jauh entah ke mana. Tapi dia sering jengkel karena dengkuran Gaby yang nyaring suka membuyarkan lamunannya.
Erfan dan Gaby jarang bicara. Hubungan mereka berdua serba teknis. Hanya keberadaan anak-anak yang manis-manis itu yang membuat Erfan bertahan dalam perkawinan pura-pura. Sesungguhnya jiwanya berontak. Ingin segera lepas dari pernikahan sandiwara.
Tapi, kalau urusan memasak, Erfan harus jujur, Gaby memang jagonya. Lulusan SMK jurusan tataboga itu ada saja idenya. Setiap kali menciptakan menu baru yang tak terduga. Namun selalu istimewa. Sangat kreatif dalam soal boga. Peka dalam soal rasa. Sehingga cenderung sangat bawel kalau mereka sekeluarga sedang makan bersama di restoran. Ada saja yang dikomentarinya. Mulai dari cara penyajian. Kombinasi garnish. Sampai ke soal penggunaan bermacam-macam sendok, garpu dan pisau yang begitu membingungkan bagi Erfan.
Gaby benar-benar seorang juara dalam soal boga. Kalaupun harus diadu dengan pakar kuliner Sisca Suwitomo, Gaby pasti menang ke mana-mana. Apalagi bila berat badan ikut diperhitungkan. Nggak level. Hanya saja, Erfan tak pernah bisa melupakan sepiring nasi goreng yang pernah dimasak Rani untuknya. Agak sedikit asin, memang. Dan ulekan cabenya masih kasar. Tapi rasanya benar-benar tak terlupakan.
Pernah beberapa kali Erfan bertemu Rani. Mereka pergi nonton bioskop. Makan malam bersama. Saling menyuapi sambil bertukar cerita. Tertawa-tawa bersama, seperti sepasang remaja yang sedang kasmaran. Kedekatan itu mulai terbangun kembali. Saling membutuhkan. Tapi Rani suka menjaga jarak. Mood-nya datang dan pergi. Jinak-jinak merpati. Kadang mendekat kadang menjauh. Tak ubahnya seperti orang plin-plan.
Erfan bingung memikirkannya. Apakah memberi harapan atau menolaknya? Namun, ketika dia akhirnya berhasil mengumpulkan segenap keberanian untuk mengungkapkan keinginannya memperistri Rani, suasana berubah total. Muka Rani langsung merah. Dia benar-benar marah.
“Fan, kamu pulang saja ke istrimu yang gendut itu. Anak-anakmu menunggu. Jangan sekali-kali kamu ngomong lagi soal itu. Kita tidak ditakdirkan bersatu. Hatiku sudah tertutup untukmu.”
Gawat.
Tapi Erfan tak pernah putus asa. Sudah kecemplung, sekalian basah semua. Dia bertekad tak akan menyerah. Meski harus menyeberangi lautan dan mendaki tebing terjal. Disuruh menggali sumur pun akan dia lakukan. Apalagi kalau cuma dimarahi. Kecil itu.
Maka, setiap kali ketemu Rani dalam berbagai kesempatan, dia selalu saja mengutarakan niatnya untuk memperistri cinta pertamanya itu. Berkali-kali Rani murka dan memakinya. Bahkan melemparnya dengan sepatu. Tapi toh, akhirnya dia luluh juga. Rani bersedia menjadi istri kedua Erfan. Mereka berpelukan dan menangis bersama. Cinta telah bersatu, dan rencana segera disusun. Mereka akan menikah di luar negeri. Sebuah apartemen di kawasan Kuningan langsung mereka beli hari itu juga.
Gaby merasakan ada perubahan mencolok pada diri Erfan. Tumben suaminya baik sekali. Sikapnya lebih mesra. Penuh perhatian kepadanya. Sering mengajaknya bicara. Dan, anehnya, Erfan selalu kelihatan berseri-seri setiap akan berangkat kerja. Seolah setiap hari akan menerima bonus. Hari Sabtu selalu lembur. Ada saja alasannya. Keluar kota. Peninjauan lapangan. Dikejar target. Macam-macamlah.
Gaby mengendus ada sesuatu yang tak beres. Karena Erfan bersikap tidak seperti biasanya. Tapi kecurigaan itu ditepisnya. Dibuangnya jauh-jauh. Dia tak ingin berpikir yang bukan-bukan. Takut badanya kempes dan kurus, sehingga gampang kentut. Namun rasa waswas itu senantiasa hinggap di hatinya. Maka, secara diam-diam Gaby mulai melakukan penyelidikan, dibantu anak perempuannya, yang juga gendut.
Setiap hari dia geledah saku baju dan celana Erfan di keranjang cucian. Tak akan ada setitik pun petunjuk yang bisa lolos dari perhatiannya. Sudah dibelinya kaca pembesar dua buah. Setipis apapun bau parfum yang tersisa, pasti dia akan langsung kenali. Apalagi noda gincu, yang ditunggu-tunggunya selama ini.
Mobil Erfan juga tak lepas dari perhatiannya. Semua laci dia periksa. Tidak ada apa-apa di sana. Sekali pernah dia temukan bon pembelian Viagra yang sudah kusut di bawah karpet mobil. Tapi bukan itu petunjuk yang dia cari. Karena dua malam sebelumnya dia dan Erfan berhubungan badan. Dan Erfan begitu perkasa malam itu. Sudah. Sudah. Bukan itu yang ingin dia temukan.
Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga ke tanah. Begitu kata pepatah. Karena kecapaian sehabis mengikuti rapat evaluasi tahunan yang digelar hingga malam di Hotel Mulia, Erfan melakukan keteledoran yang membawa petaka. Gaby menemukan paspor Erfan dan Rani di dalam mobil, berikut dua tiket Garuda dengan tujuan Singapura. Langsung lemas kakinya. Tak kuat lagi menyangga tubuhnya yang seberat sembilan puluh tiga kilogram itu. Kepalanya serasa mau pecah. Tangannya berkeringat. Air mata mulai menitik. Hampir saja Gaby menangis meraung-raung. Tapi dia segera menguasai diri, dan langsung menelpon mertuanya, Bu Shinta.
“Fan, ini apa?” Mamanya melemparkan kedua paspor dan tiket itu ke muka Erfan. Tangan kiri di pinggang, tangan kanan mengacung-acung ke arah Erfan yang duduk diam, tak mampu berkata apa-apa.
Malam itu juga Erfan diadili. Mamanya nyerocos tak keruan. Istrinya menangis sesenggukan. Anak perempuannya yang sangat cs dengan mamanya karena sama-sama gembul, juga ikut mengeroyoknya. Dia dipaksa membuat pernyataan tertulis yang isinya tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Karena kalah dan tidak punya pilihan, dia turuti saja semua kemauan mereka. Erfan menorehkan tanda tangan di atas materai. Istrinya memilih cap jempol darah. Erfan tertunduk lesu. Gaby tersenyum menang. Neraka itu baru berakhir menjelang subuh.
Halimah menjadi inspirasi. Keesokan paginya, ibu mertua dan anak menantu tambun-ikal kesayangannya itu berangkat bersama-sama menuju kantor Rani di Gedung BRI II. Tekad kedua angka nol besar itu sudah bulat. Mereka akan melabrak perempuan pengusik rumah tangga tersebut. Biar tahu rasa tukang kentut itu, karena sudah berani mengganggu suami orang.
Erfan berusaha mencegah mereka, tapi tak berhasil. Dia ingin menelpon Rani untuk memperingatkannya. Tapi tidak jadi. Dia tak tahu harus berkata apa. Keteledoran itu harus dibayar mahal. Maka dia tinggal di rumah saja. Tidak pergi ngantor. Hanya berbaring di tempat tidur, tanpa pernah bisa menutup mata. Gelisah.
Rani dengan tergesa-gesa keluar dari ruang kerjanya mendengar ada keributan di resepsionis. Betapa kagetnya dia melihat mama dan istri Erfan ada di sana sedang memaki-maki Satpam yang mencoba menghadang. Satpam kerempeng bernama Eddy Subekti itu pucat pasi. Kaget sekaligus ketakutan. Gemetaran. Kalah nyali.
Topinya terlempar saat menghindari tamparan Gaby. Pemuda kelahiran Klaten, Jawa Tengah itu, berusaha keras meniup peluit untuk minta bantuan. Tapi karena terlalu panik, tak sedikit pun jeritan yang keluar dari peluitnya. Malah alat tiup tersebut basah semua dibanjiri air liurnya. Sudah, nyerah saja, pikirnya. Mustahil menang bila harus berkelahi melawan dua pesumo kelas berat itu. Apalagi mulut mereka menyalak terus seperti senapan mesin. Tak mungkin ditangkis dengan kumisnya.
“Ini rupanya biang kerok itu, yang mau berduaan ke Singapura” sergah mama Erfan sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya yang segede cerutu ke arah Rani.
“Mau merebut suami orang,” Gaby menimpali.
Dituduh demikian, Rani langsung menukas berang. “Nyonya ….” Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, mama Erfan malah menghampirinya sambil nyerocos soal kejadian kentut di masa lalu. The fat lady’s singing. Rani langsung terdiam seribu bahasa. Dia lari sambil menangis menuju ruang kerjanya, dan kemudian menelepon resepsionis agar menyuruh Satpam penakut itu menyeret paksa dua karung lemak bernyawa ukuran XXXL tersebut keluar dari kantornya. Kalau perlu pakai kerekan gondola.
Segerombolan awan pekat langsung memunggungi sang surya. Petir menyambar-nyambar, dengan kilatan-kilatan cahaya menyilaukan. Menerangi setiap sudut gelap, mencari-cari di mana orang-orang gendut berada. Rani murka. Dia putuskan tidak melanjutkan lagi rencana pernikahan itu.
Erfan sama sekali tak membela diri. Dia merasa sangat bersalah. Semua ini terjadi karena keteledorannya. Dua kali sudah dia mempermalukan Rani di depan keluarganya. Apakah masih ada maaf darimu, Ran? Apakah masih ada kesempatan lagi bagiku? Apakah aku harus menceraikan Gaby? Apakah aku harus kehilangan anak-anakku? Apakah aku harus mendurhakai mamaku? Tuhan, tolonglah aku.
Sungguh beruntung orang yang menikah dengan cinta pertamanya, pikir Erfan. Berbeda dengan dirinya, yang harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dia sangat menyesal telah menikahi Gaby. Dia sangat menyesal telah kehilangan Rani. Dia merasa menjadi pria yang paling malang di dunia. Pria tak berguna. Tabah, Fan. Sabar. Kapan-kapan saya carikan jalan keluar. Saya akan buatkan cerita yang bagus untukmu. Lain kali saya akan persatukan kamu dengan Rani dalam pelukan cinta yang suci dan abadi. Sampai mati. Saya janji. Pasti saya tepati.
Erfan memang harus bersabar. Bagaimanapun, dia masih punya cinta, yang terus dia pupuk dan pelihara. Meski dia tak mungkin lagi memeluknya. Sementara di sebuah kota pesisir, banyak orang yang ramai-ramai membuang cinta ke dalam tong sampah. Dimotori seorang gadis remaja yang menikahi pria bule tua, sebuah situs perjodohan digantungkan di internet. Situs mak comblang itu memberikan kesempatan kepada remaja-remaja putri yang ingin menikah dengan lelaki bule untuk saling berkenalan melalui jagat maya. Peminatnya membludak.
Sebagian besar remaja putri dari kelas menengah-bawah itu ingin menikah dengan bule – tak peduli berapa pun umurnya, bahkan kakek-kakek yang sudah disiapkan liang kuburnya – dengan harapan mendapatkan anak berwajah Indo. Cinta sama sekali bukan target mereka. Berapa lama perkawinan itu akan berjalan juga bukan urusan penting. Ini sebuah proses inseminasi belaka, yang melibatkan dua anak manusia dari kebangsaan yang berbeda. Sama-sama senang. Sama-sama suka. Sama-sama diuntungkan.
Tujuannya perkawinan nir-cinta itu hanya satu, menghasilkan anak-anak yang cantik dan ganteng. Biar kalau sudah besar nanti bisa jadi pemain sinetron. Menjadi putra-putri kebanggaan mereka. Sehingga orangtuanya bisa nunut urip mulyo. Begitulah harapan mereka. Sudah begitu pendekkah pikiran mereka?